HUKUM
HUMANITER DAN KAITANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUKUM
INTERNASIONAL
Di Edit
Oleh :
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Hukum
Humaniter Internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa.
Untuk menghindari penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad
ke-19 negara-negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan
internasional dalam suatu konvensi yang mereka setujui sendiri (Lembar Fakta
HAM, 1998: 172). Sejak saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya
merusak persenjataan modern menyadarkan perlunya banyak perbaiakan dan
perluasan hukum humaniter melalui negosiasi–negosiasi panjang yang membutuhkan
kesabaran.
Perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang berhubungan
dengan perlindungan bagi korban perang dan hukum perang sangat dipengaruhi oleh
perkembangan hukum perlindungan Hak Asasi Manusia setelah Perang Dunia Kedua.
Penetapan instrumen internasional yang penting dalam bidang Hak Asasi Manusia
seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Konvensi Eropa tentang
Hak Asasi Manusia (1950) dan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat pandangan bahwa semua
orang berhak menikmati Hak Asasi Manusia, baik dalam pada masa perang maupun
damai.
Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter
internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya
dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar
Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa
selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun
perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan
bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat
manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan,
menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa bangsa.
Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan bahwa tidaklah mengherankan
apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang
berdiri sendiri dimulai dengan tulisan tulisan mengenai hukum perang.
Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat
ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia.
Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak
itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan
pengalaman-pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu
mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer
dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional,
sejumlah negara di Seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan
hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui
sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.
Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan
tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang
tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di
hampir semua negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi
dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi
penduduk sipil, anak anak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan
tawanan perang.
Defini
Hukum Humaniter
Perang
dalam pengertian umum yang telah diterima yaitu suatu pertandingan antara dua
negara atau lebih terutama dengan angkatan bersenjata mereka, tujuan terakhir
dari setiap kontestan atau masing-masing kelompok kontestan adalah untuk
mengalahkan kontestan-kontestan lain dan membebankan syarat-syarat
perdamaiannya.
Menurut
Karl Von Clausewitz perang adalah perjuangan dalam skala besar yang
dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukkan lawannya guna memenuhi
kehendak.
Menurut
Mochtar Kusumaatmaja hukum humaniter adalah sebagai dari hukum perang yang
mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang; seperti mengenai
senjata-senjata yang dilarang. Konvensi Janewa identik atau sinonim dengan
hukum atau konvensi-konvensi humaniter sedangkan hukum perang atau
konvensi-konvensi Den Haag mengatur tentang cara melakukan peperangan.
Hukum
perang terdiri dari sekumpulan pembatasan oleh hukum internasional dalam mana
kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan pada
prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat
berlangsungnya konflik-konflik bersenjata.
Tujuan Hukum Humaniter
Beberapa tujuan hukum
humaniter yaitu :
a.
Memberikan
perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang
tidak perlu;
b.
Menjamin hak asasi
manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh.
Kombatan yang jatuh ke tangan musuh berhak diperlakukan sebagai tawanan perang
dan harus dilakukan secara manusiawi;
c.
Mencegah dilakukannya
perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini yang penting adalah asas
perikemanusiaan.
Jadi
tujuan dari hukum humaniter internasional adalah untuk memberikan perlindungan
kepada korban perang, menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan mencegah
dilakukannya perang secara kejam. Hukum humaniter internasional lebih ditujukan
untuk kepentingan kemanusiaan, yaitu:
1.
Membatasi kekuasaan
pihak-pihak yang berpengalaman dalam menggunakan kekerasan militer dan tindakan
yang tidak manusiawi
2.
Melindungi kombatan
atau non kombatan/penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu
3.
Menjamin hak-hak asasi
tertentu dari mereka yang berada ditangan musuh/pihak lawan, sesuai dengan
resolusi PBB No. 2444 tahun 1968 tentang Respector Human Rights Arned
Conflicts.
Grotius,
yang juga diikuti oleh Prof. Mochtar Kusumaatmaja membagi:
1.
Jus ad belum (hukum tentang
perang), yaitu hukum yang mengatur dalam hal bagaimana suatu negara dibenarkan
menggunakan kekerasan bersenjata.
2.
Jus in bellow, yaitu hukum yang
berlaku dalam perang, terbagi lagi menjadi dua yaitu:
a.
Hukum yang mengatur
cara dilakukannya perang, termasuk pembatasan-pembatasannya yang terdapat dalam
konvensi Den Haag.
b.
Hukum mengenai
perlindungan bagi orang-orang yang menjadi korban perang , baik sipil maupun
militer. Ini terdapat dalam konvensi-konvensi Janewa.
Asas dan Prinsip Hukum
Humaniter
Hukum
perang yang kini lazimnya disebut hukum humaniter dibuat untuk mengatur
penggunaan perang atau kekuatan bersenjata sedemikian rupa, seandainya perang
atau konflik bersenjata tidak mungkin lagi bisa dicegah atau dihindari. Upaya
pengaturan itu dimaksudkan agar tidak mengakibatkan penderitaan yang berlebihan
dan sebenarnya tidak perlu, baik masyarakat awam ataupun penduduk yang tidak
berdosa (dalam arti penduduk sipil), maupun bagi korban perang dan anggota-anggota
“combatant”(pelaku pertempuran) yang terluka. Oleh karena itu ada beberapa asas
atau prinsip yang terkandung dalam Hukum Humaniter. Asas hukum atau
prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya yang terjelma dalam
peraturan perundang-undangan (Sudikno Mertokusumo, 2003: 34). HHI disusun
dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut:
a.
Asas kepentingan
militer
Berdasarkan asas ini
maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan
lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
b.
Asas Perikemanusiaan
Menurut asas ini pihak
yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka
dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang
berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
c.
Asas kesatriaan
Berdasarkan asas ini bahwa di dalam perang,
kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai
tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.
Prinsip
yang berlaku pada hukum humaniter internasional antara lain:
a.
Prinsip
keperluan,/kepentingan militer (military necessity)
Yaitu untuk memberikan
batasan, landasan atau pedoman bagi pihak angkatan bersenjata yang saling
tempur mengenai hal-hal apa yang boleh dilakuakn dan yang tidak boleh
dilakukan, mengenai tindakan apa yang melanggar huku (dalam situasi perang),
alat/sarana yang boleh digunakan dan yang tidak boleh digunakan.
b.
Prinsip kemanusiaan
(humanitarian)
Yaitu untuk menerapkan
perlakuan terhadap manusia sebagaimana kodratnya dan bukan diperlakukan
bagaikan binatang(hewan), menyadari rasa kasih sayang sesama manusia(jangan
membantai atau menelantarkan lawan yang luka, sakit, tidak berdaya, atau sudah
menyerah), menghargai hak-hak hidup bagi manusia, dan tidak melakukan
pelanggaran hak-hak asasi manusia.
c.
Prinsip kesatriaan
(chivalry)
Asas ini
mengandungarti bahwa didalam suatu peperangan, kejujuran harus diutamakan.
Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan dengan hukum humaniter
serta cara-cara peperangan yang bersifat khianat dilarang.perang diharapkan
hanya dilakukan sebatas mengalahkan atau melumpuhkan kekuatan kekuatan lawan
dan bukan untuk menghancurkan personel, keluarga, dan harta benda lawan.oleh
karena itu seandainya saja tidak diterapkan asas kesatriandalam pembentukan ketentuan-ketentuan
hukum humaniter, maka sudah pasti peperangan akan berlangsung dengan sangat
brutal dan dan keji.
d.
Prinsip
non-diskriminasi (non-discrimination)
Yaitu untuk menghargai persamaan derajat tidak
membeda-bedakan,baik para pihak dalam pertempuran maupun korban perang(termasuk
lawan perang)
Jenis-jenis Konflik Bersenjata
Secara
garis besar, hanya ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang diatur dalam
Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi
jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu : 1). “sengketa atau konflik
bersenjata yang bersifat internasional” (international armed conflict);
serta 2.) “sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international
armed conflict). Pembagian dua bentuk konflik ini adalah juga menurut
Haryomataram.
Selain Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan, para pakar Hukum
Humaniter telah mengajukan bentuk konflik bersenjata, antara lain :
1. Starke, membagi konflik bersenjata menjadi dua, yaitu war
proper between States, and armed conflict which are not of the character of
war. Mengenai “armed conflict” yang menjadi pihak belum
tentu negara, dapat juga bukan negara menjadi pihak dalam konflik tersebut.
Ditambahkan pula bahwa “war proper” adalah “declared war”,
yaitu perang yang didahului dengan suatu “declaration of war”
2. Shigeki Miyazaki, pakar ini menjabarkan konflik bersenjata
sebagai berikut :Konflik bersenjata antara pihak peserta konvensi Jenewa 1949
dan Protokol Tambahan 1977. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 1 dan Protokol
I, Pasal 1, Paragraf 3.
a.
Konflik bersenjata
antara pihak peserta (negara) dengan bukan pihak peserta (negara atau
penguasa de facto), misalnya penguasa yang memimpin kampanye
pembebasan nasional yang telah menerima Konvensi Jenewa dan/atau Protokol.
Konvensi Jenewa Pasal 2, Paragraf 4, Protokol Tambahan I, Pasal 1, Paragraf 4,
Pasal 96, Paragraf 2.
b.
Konflik bersenjata
antar pihak peserta (negara) dan bukan pihak peserta (negara atau
penguasa de facto), yang belum menerima baik Konvensi Jenewa maupun
Protokol. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Marthen Clause, Protokol
II (penguasa : authority).
c.
Konflik bersenjata
antara dua bukan pihak peserta (non-contracting parties). Konvensi
Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Kovensi Jenewa Pasal 3 (penguasa), Marthen
Clause, Protokol 2 (penguasa).
d.
Konflik bersenjata
yang serius yang tidak bersifat internasional (pemberontakan). Konvensi Jenewa,
Pasal 3, Protokol 2, Hukum Internasional Publik.
e.
Konflik bersenjata
yang lain. Kovenan Internasional HAM, Hukum Publik (Hukum Pidana).
Hubungan Hukum Humaniter
dan HAM
Tidak
selamanya saat perang atau konflik terjadi akan memikirkan tentang HAM, namun
antara Hukum Humaniter dengan HAM tentu memiliki kaitan dan saling berhubungan.
Dalam konvensi-konvensi tentang hak asasi manusia terdapat pula berbagai
ketentuan yang penerapannya pada situasi perang. Konvensi Eropa tahun 1950,
misalnya dalam Pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang atau bahaya umum
lainnya yang mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang dijamin dalam konvensi
ini tidak boleh dilanggar. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) hak yang harus tetap
dihormati, karena merupakan intisari dari Konvensi ini, yaitu: hak atas
kehidupan, hak kebebasan, integritas fisik, status sebagai subyek hukum,
kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi dan hak atas keamanan. Ketentuan ini
terdapat juga dalam Pasal 4 Kovenan PBB mengenai hak-hak sipil dan politik dan
Pasal 27 Konvensi HAM Amerika.
Selain
itu, terdapat pula hak-hak yang tak boleh dikurangi (non derogable rights),
baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak yang
tak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip (perlakuan) non
diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku surutnya
hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak
untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan
perjanjian (kontrak), perbudakan (slavery), perhambaan (servitude),
larangan penyimpangan berkaitan dengan dengan penawanan, pengakuan seseorang
sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan
penjatuhan hukum tanpa putusan yang diumumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang
lazim, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam
keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf (d) yang bersamaan pada
keempat Konvensi Jenewa.
Konferensi
internasional mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh PBB di
Teheran pada tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak Asasi Manusia
(HAM) dan Hukum Humaniter Internasional (HHI). Dalam Resolusi XXIII tanggal 12
Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata”, meminta
agar konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata diterapkan secara lebih
sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini
mendorong PBB untuk menangani pula Hukum Humaniter Internasional.
KESIMPULAN
Hukum Humaniter Internasional membedakan dua
jenis pertikaian bersenjata, yaitu sengketa bersenjata yang bersifat
internasional dan yang bersifat non-internasional. Menurut Mochtar
Kusumaatmadja hukum humaniter adalah Bagian dari hukum yang
mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum
perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara
melakukan perang itu sendiri. Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang
perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”,
tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi
penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan
konflik bersenjata diperbolehkan.
Buku
Hadi,
Soetrisno, 1987,Metodologi Research, UGM,
Yogyakarta.
Permatasari, Arlina, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta.
Rudy, T.
May, 2009, Hukum Internasional 2, PT.
Reifika Aditama.
Strike,
J.G. Pengantar Hukum Internasional edisi ke 2, Sinar Grafika.