Kamis, 18 Oktober 2018

Agama-Agama dan Rekonsiliasi Panggilan Mengikuti Kritus di Tengah-Tengah Kekerasan dan Strategi Agama Sebagai Penjaga Gawang HAM di Papua




PENDAHULUAN
Agama adalah prinsip kepercayaan kepada Tuhan, dengan aturan-aturan syarat tertentu. Agama Ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan atau kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungannya. Kata agama dalam bahasa inggris adalah “religion” atau bahasa latinnya “religio” yang berarti mengingat dengan kencang, membaca kembali atau membaca berulang-ulang dan penuh perhatian. Agama berkaitan dengan hubungan antara manusia dan dunianya serta dengan Allah karena segala keberadaan manusia adalah Allah.
Dengan menyimpulkan pengertian dari beberapa arti diatas bahwa agama sebagai lembaga yang secara konkrit menjadi bagian dari struktur masyarakat, bisa memainkan perannya dalam mengontrol dan kemudian ikut membentuk sebuah struktur masyarakat yang lebih kondusif bagi perkembangan kultur yang adil bagi setiap individu berdasarkan kekuatan yang dimilikinya. Dalam konteks pembicaraan tentang kekerasan, akan disusulkan optimalisasi lembaga agama dalam membongkar kultur kekerasan di Indonesia umu dan di papua khususnya, yang dimaksud agama sebagai lembaga disini adalah agama dengan struktur organisasinya beserta individu-individu yang memeluknya. Tentu dalam hal ini diandaikan pula bahwa perdebatan Teologis sehubungan dengan peran agama di dunia sudah menemukan platform ( mimbar, panggung atau pondium) kemanusian.








“PANGGILAN MENGIKUTI KRISTUS DITENGAH-TENGAH KEKERASAN”
Berikut ini merupakan interprestasi mengenai gejala kekerasan dan ketidakadilan dalam masyarakat  (pada pemerintahan Orde Baru), kemudian beberapa pertimbangan mengenai panggilan para pengikut Kristus dalam konteks tersebut.

KEKERASAN
Salah satu penyebab ketidakadilan yang dialami pada masa pemerintahan Orde Baru adalah kekerasan yang dijalankan oleh pemerintah melalui alat-alatnya, yakni militer hukum, informasi, dan ideology, yang tidak jarang juga di dukung oleh budaya dan agama. System dan struktur yang tidak adil telah merasuki segala bidang tataran hidup bermasyarakat dan bernegara, sehingga tidak mudah untuk diubah dalam waktu yang singkat.
Indonesia lahir dari masyarakat yang majemuk yang melawan penjajah dan kemudian selanjutnya dibentuk dan disatukan dari atas oleh pemerintah yang otoriter dan represif . Perjuangan menegakkan keadilan dan perdamaian dalam bidang-bidang politik, ekonomi, budaya, berhadapan dengan system dan struktur kekuasaan yang kuat, konflik vertical telah menjadi konflik horizontal, dimana budaya dan agama ikut memainkan peran selama Orde Baru, tidak jarang agama membiarkan diri menjadi alat pemerintah, demi pelaksanaan program pemerintah, suatu hal yang sangat mencolok khususnya menjelang pemilu.
Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa gerakan memperjuangkan kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan bersama merupakan kekuatan yang mempersatukan agama-agama. Sebliknya, tanpa gerakan semacam itu agama-agama cenderung memperjuangkan kepentingan kelompok sendiri dan menjadi kekuatan yang terpisah-pisah atau malah berselisih. Sebagai gejala social, sebagai kelompok masyarakat dalam negara Indonesia, umat beragama tidak terlepas dari politik, ekonomi, dan budaya yang bersifat ambivalen. Terhadap ambivalen politik,ekonomi, dan budaya selayaknya umat beragam bersikap kritis berdasarkan sumber-sumber yang dianutnya. Dengan demikian agama menjadi agama rakyat. Kemungkinan lain hanyalah dalam kekuasaan dan agama menjadi sarana kekuasaan. Kenyataan Indonesia seperti ini tidak terlepas dari pengaruh proses globalisasi. Fenomena globalisasi tidaklah netral melainkan penuh dengan ambiguitas, dengan kompetisi yang tidak fair dan hubungan-hubungan yang tidak adil.Dominasi ekonomi dan politik diperkuat dengan agresi cultural yang dipacu dengan kemajuan-kemajuan teknologi. Salah satu dampak globalisasi adalah munculnya fundamentalisme, yang tidak hanya terdapat dalam agama, melainkan juga dalam keluarga nepotisme, dalam ras dan suku primodialisme, dan dalam hubungan gender patriarki, Globalisasi mempunyai andil dalam menumbuhkan sikap hidup komunalistik tersebut. Bahaya dari sikap ini ialah tidak bersedia untuk dialog dan cenderung menggunakan kekerasan. Akibatnya, kaum marginal dan tak berdaya semakin lemah posisinya.
PERMASALAHAN KITA

Berbicara tentang kekerasan berarti pula berbicara tentang aneka ragam model dan bentuk kekerasan. Oleh karena itu, focus kita kekerasan yang akan dibahas disini adalah kekerasan yang lebih dikenal sebagai kekerasan Negara (state violence) Indonesia terhadap rakyat Papua.  Disini saya tidak akan membicarakan tentang hal ini secara detail karena memang, pembicaraan tentang hal ini sudah cukup yang dibahas oleh para Tokoh Papua, Antropolog Papua, Seniman Papua, Cedekiawan Papua, Akademisi Papua Peneliti Papua, Praktisi Hukum Papua, LSM/NGOs Papua dan Aktivis Papua, Mahasiswa Papua Pemuda Papua dalam bentuk bermacam –macam baik itu melalui Buku, Media Cetak, Media Online Jurnal, Seminar-seminar dan dalam berbagai hal lainnya , sehingga setidaknya pastilah kita sudah beranalisa dan sudah tahu kesana, apa itu kekerasan Negara (state violence) terhadap orang Papua.
Hal yang sering dari pembicaran para pakar itu ialah para eksekutiv dan juga legislative  daerah Papua yang di dukung oleh militer Indonesia yang variable utama dalam permainan kekerasan negara terhadap rakyat Papua. Padahal sebagai seorang pemimpin daerah yang bijak hanya dengan mencermati pola-pola kekerasan itulah kita bisa menemukan salah satu mata rantai yang bisa di tenmbus untuk memutuskan lingkaran setan kekerasan itu, tidak mudah bagi masyarakat Papua untuk melawan hal kekerasan itu, bahwa berdasarkan topic diatas maka kalau agama mau supaya gereja berperan secara optimal, perlulah lebih dahulu menemukan titik lemah dari pada budak “korban” kemudian barulah menemukan solusinya.
MEMBONGKAR POLA PENGGELAPAN
Setelah mencermati pola kekerasan diatas , yang kemudian mendesak diperlukan adalah suatu upaya untuk membongkar penggelapan fakta ini sebagai bentukan nyata dari usaha memutuskan lingkaran setan kekerasan. Diharapkan, dengan fakta yang lebih transparan, pola-pola kekerasan itu bisa dinilai dan ditimbang dalam ukuran rasa keadilan masyarakat sesuai prsedur hukum yang berlaku di Indonesia maupun Organisasi Internasional Human Right. Maka lebih lanjut, dalam dukungan masyarakat yang lebih luas kemungkinan besar para korban dan atau keluarga korba,n ini bisa lebih berani memberikan kesaksiannya. Namun sangat sulit bagi pihak korban rakyat Papua memberikan kesaksian ini kepada public Nasional maupun Internasional kalau di pantaupun oleh pihak atau lemmbaga yang mendukung, sekalipun sudah pernah mencoba namun hasilnya mereka malah dihukum lagi pelaku criminal dengan memperbalikan fakta yang sebenarnya.
Berdasarkan Topik artikel dan fakta deskriptif analisa diatas maka timbulah, pertanyaan bahwa:
Sipakah sebenarnya agama itu dan untuk apakah agama itu ada?
Peran dan fungsi agama penting dalam menyikapi konflik HAM (Hak Asasi Manusia) seperti yang di jelaskan diatas sama halnya juga konflik Papua, dan cara yang untuk bisa menyikapi konflik Papua adalah dengan jalan dengan jalan atau ketentuan sebagai berikut:
1.     Pada umumnya agama dilihat sebagai kekuatan moral, bukan perwujudan dari kepentingan ekonomi dan politik praktis dalam arti kekuasaan
2.     Kepentingan agama dalam pilihan ini adalah pilihan keadilan dan kemanusiaan, suatu pilihan universal yang non-sektarian dan tidak berpihak, kecuali hanya pada para korban yang tercabik harga diri kemanusiaanya
3.      Kekuatan lembaga agama yang kedua adalah struktur organisasi dan jaringan internal yang relative baik. Maksudnya, agama sebagai lembaga mempunyai basis massa yang jelasdengan unit-unit pengorganisasian yang cukup baik.
4.     Selain itu, agama biasanya juga mempunyai jaringan keluar yang juga baik, dan ini bisa menjadi kekuatan ketiga
Dengan ketiga kekuatan ini saja, sebenarnya lembaga agama tidak perlu merasa gentar membela keadilan, meskipun tetap perlu mewaspadai upaya-upaya adu domba seperti yang sering terjadi selama.
Dengan demikian pastilah akan terlihat sendiri kebenaran yang sedang diinjak-injak oleh kepentingan kaum kapitalis global itu, maka itu Gereja perlu menyadari tugas pengutusan dan panggilannya. Jika dengan melalaikan tugas pengutusan dan panggilan Gereja maka Gereja gagal hidup sebagai Gereja, yakni sebagai Tubuh Kristus.
Gereja jangan pernah lagi tutup hati dan mulut jika terjadi pelanggaran ketidak manusiawian di tengah-tengah kehidupan umat Allah, Melainkan buka hati dan mulut dengan cara berkata dan bertindak sebab kebenaran boleh dapat di salahkan Namun tidak dapat dikalahkan
Socrates, Sofyan, Yoman

Orang- orang Yang pekerja jujur di atas tanah ini akan melihat tanda heran yang satu ke tanda heran yang lain
Isac, Zamuel, Kijne




Oleh: Obock Robsil Silak
Penulis adalah Alinlan Nare Ft Kaki Abu

Tidak ada komentar:

Teknik Pembuatan Api Tradisional

Pada 1960-an-1980-an masyarakat perkampungan lembah Yahulikma, Ubahakikma dan Sosomikma tidak memiliki akses korek api, dan masih menggunaka...