Jumat, 14 Desember 2018

Jus Ad Belum Dan Jus In Bellow (Hukum dalam Perang dan Hukum Yang Berlaku dalam Perang


HUKUM HUMANITER DAN KAITANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

Di Edit
Oleh :
Obock I Silak


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hukum Humaniter Internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa. Untuk menghindari penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad ke-19 negara-negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional dalam suatu konvensi yang mereka setujui sendiri (Lembar Fakta HAM, 1998: 172). Sejak saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern menyadarkan perlunya banyak perbaiakan dan perluasan hukum humaniter melalui negosiasi–negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.
Perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan hukum perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum perlindungan Hak Asasi Manusia setelah Perang Dunia Kedua. Penetapan instrumen internasional yang penting dalam bidang Hak Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat pandangan bahwa semua orang berhak menikmati Hak Asasi Manusia, baik dalam pada masa perang maupun damai.
Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa bangsa. Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisan tulisan mengenai hukum perang.
Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di Seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.

Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil, anak anak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang.

Defini Hukum Humaniter
Perang dalam pengertian umum yang telah diterima yaitu suatu pertandingan antara dua negara atau lebih terutama dengan angkatan bersenjata mereka, tujuan terakhir dari setiap kontestan atau masing-masing kelompok kontestan adalah untuk mengalahkan kontestan-kontestan lain dan membebankan syarat-syarat perdamaiannya.  
Menurut Karl Von Clausewitz perang adalah perjuangan dalam skala  besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukkan lawannya guna memenuhi kehendak. 
Menurut Mochtar Kusumaatmaja hukum humaniter adalah sebagai dari hukum perang yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang; seperti mengenai senjata-senjata yang dilarang. Konvensi Janewa identik atau sinonim dengan hukum atau konvensi-konvensi humaniter sedangkan hukum perang atau konvensi-konvensi Den Haag mengatur tentang cara melakukan peperangan. 
Hukum perang terdiri dari sekumpulan pembatasan oleh hukum internasional dalam mana kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan pada prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsungnya konflik-konflik bersenjata.

Tujuan Hukum Humaniter
Beberapa tujuan hukum humaniter yaitu :
a.       Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu;
b.      Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh berhak diperlakukan sebagai tawanan perang dan harus dilakukan secara manusiawi;
c.       Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini yang penting adalah asas perikemanusiaan.

Jadi tujuan dari hukum humaniter internasional adalah untuk memberikan perlindungan kepada korban perang, menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan mencegah dilakukannya perang secara kejam. Hukum humaniter internasional lebih ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan, yaitu:

1.      Membatasi kekuasaan pihak-pihak yang berpengalaman dalam menggunakan kekerasan militer dan tindakan yang tidak manusiawi
2.      Melindungi kombatan atau non kombatan/penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu
3.      Menjamin hak-hak asasi tertentu dari mereka yang berada ditangan musuh/pihak lawan, sesuai dengan resolusi PBB No. 2444 tahun 1968 tentang Respector Human Rights Arned Conflicts. 




Grotius, yang juga diikuti oleh Prof. Mochtar Kusumaatmaja membagi:
1.      Jus ad belum (hukum tentang perang), yaitu hukum yang mengatur dalam hal bagaimana suatu negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata.
2.      Jus in bellow, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, terbagi lagi menjadi dua yaitu:
a.       Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang, termasuk pembatasan-pembatasannya yang terdapat dalam konvensi Den Haag.
b.      Hukum mengenai perlindungan bagi orang-orang yang menjadi korban perang , baik sipil maupun militer. Ini terdapat dalam konvensi-konvensi Janewa. 

 Asas dan Prinsip Hukum Humaniter
Hukum perang yang kini lazimnya disebut hukum humaniter dibuat untuk mengatur penggunaan perang atau kekuatan bersenjata sedemikian rupa, seandainya perang atau konflik bersenjata tidak mungkin lagi bisa dicegah atau dihindari. Upaya pengaturan itu dimaksudkan agar tidak mengakibatkan penderitaan yang berlebihan dan sebenarnya tidak perlu, baik masyarakat awam ataupun penduduk yang tidak berdosa (dalam arti penduduk sipil), maupun bagi korban perang dan anggota-anggota “combatant”(pelaku pertempuran) yang terluka. Oleh karena itu ada beberapa asas atau prinsip yang terkandung dalam Hukum Humaniter. Asas hukum atau prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan (Sudikno Mertokusumo, 2003: 34). HHI disusun dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut:

a.       Asas kepentingan militer
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
b.      Asas Perikemanusiaan
Menurut asas ini pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
c.       Asas kesatriaan
Berdasarkan asas ini bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.

Prinsip yang berlaku pada hukum humaniter internasional antara lain:

a.       Prinsip keperluan,/kepentingan militer (military necessity)
Yaitu untuk memberikan batasan, landasan atau pedoman bagi pihak angkatan bersenjata yang saling tempur mengenai hal-hal apa yang boleh dilakuakn  dan yang tidak boleh dilakukan, mengenai tindakan apa yang melanggar huku (dalam situasi perang), alat/sarana yang boleh digunakan dan yang tidak boleh digunakan.
b.      Prinsip kemanusiaan (humanitarian)
Yaitu untuk menerapkan perlakuan terhadap manusia sebagaimana kodratnya dan bukan diperlakukan bagaikan binatang(hewan), menyadari rasa kasih sayang sesama manusia(jangan membantai atau menelantarkan lawan yang luka, sakit, tidak berdaya, atau sudah menyerah), menghargai hak-hak hidup bagi manusia, dan tidak melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia. 
c.       Prinsip kesatriaan (chivalry)
Asas ini mengandungarti bahwa didalam suatu peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat  yang ilegal atau bertentangan dengan hukum humaniter serta cara-cara peperangan yang bersifat khianat dilarang.perang diharapkan hanya dilakukan sebatas mengalahkan atau melumpuhkan kekuatan kekuatan lawan dan bukan untuk menghancurkan personel, keluarga, dan harta benda lawan.oleh karena itu seandainya saja tidak diterapkan asas kesatriandalam pembentukan ketentuan-ketentuan hukum humaniter, maka sudah pasti peperangan akan berlangsung dengan sangat brutal dan dan keji.
d.      Prinsip non-diskriminasi (non-discrimination)
Yaitu untuk menghargai persamaan derajat tidak membeda-bedakan,baik para pihak dalam pertempuran maupun korban perang(termasuk lawan perang)

Jenis-jenis Konflik Bersenjata
Secara garis besar, hanya ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang diatur dalam Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu : 1). “sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional” (international armed conflict); serta 2.)  “sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed conflict). Pembagian dua bentuk konflik ini adalah juga menurut Haryomataram.
Selain Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan, para pakar Hukum Humaniter telah mengajukan bentuk konflik bersenjata, antara lain :
1.   Starke, membagi konflik bersenjata menjadi dua, yaitu war proper between States, and armed conflict which are not of the character of war. Mengenai “armed conflict” yang menjadi pihak belum tentu negara, dapat juga bukan negara menjadi pihak dalam konflik tersebut. Ditambahkan pula bahwa “war proper” adalah “declared war”, yaitu perang yang didahului dengan suatu “declaration of war”
2.   Shigeki Miyazaki, pakar ini menjabarkan konflik bersenjata sebagai berikut :Konflik bersenjata antara pihak peserta konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 1 dan Protokol I, Pasal 1, Paragraf 3.
a.       Konflik bersenjata antara pihak peserta (negara) dengan bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto), misalnya penguasa yang memimpin kampanye pembebasan nasional yang telah menerima Konvensi Jenewa dan/atau Protokol. Konvensi Jenewa Pasal 2, Paragraf 4, Protokol Tambahan I, Pasal 1, Paragraf 4, Pasal 96, Paragraf 2.
b.      Konflik bersenjata antar pihak peserta (negara) dan bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto), yang belum menerima baik Konvensi Jenewa maupun Protokol. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Marthen Clause, Protokol II (penguasa : authority).
c.       Konflik bersenjata antara dua bukan pihak peserta (non-contracting parties). Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Kovensi Jenewa Pasal 3 (penguasa), Marthen Clause, Protokol 2 (penguasa).
d.      Konflik bersenjata yang serius yang tidak bersifat internasional (pemberontakan). Konvensi Jenewa, Pasal 3, Protokol 2, Hukum Internasional Publik.
e.       Konflik bersenjata yang lain. Kovenan Internasional HAM, Hukum Publik (Hukum Pidana).

 Hubungan Hukum Humaniter dan HAM
Tidak selamanya saat perang atau konflik terjadi akan memikirkan tentang HAM, namun antara Hukum Humaniter dengan HAM tentu memiliki kaitan dan saling berhubungan. Dalam konvensi-konvensi tentang hak asasi manusia terdapat pula berbagai ketentuan yang penerapannya pada situasi perang. Konvensi Eropa tahun 1950, misalnya dalam Pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang atau bahaya umum lainnya yang mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang dijamin dalam konvensi ini tidak boleh dilanggar. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) hak yang harus tetap dihormati, karena merupakan intisari dari Konvensi ini, yaitu: hak atas kehidupan, hak kebebasan, integritas fisik, status sebagai subyek hukum, kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi dan hak atas keamanan. Ketentuan ini terdapat juga dalam Pasal 4 Kovenan PBB mengenai hak-hak sipil dan politik dan Pasal 27 Konvensi HAM Amerika.
Selain itu, terdapat pula hak-hak yang tak boleh dikurangi (non derogable rights), baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak yang tak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip (perlakuan) non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku surutnya hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan (slavery), perhambaan (servitude), larangan penyimpangan berkaitan dengan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penjatuhan hukum tanpa putusan yang diumumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang lazim, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf (d) yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa.
Konferensi internasional mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh PBB di Teheran pada tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Humaniter Internasional (HHI). Dalam Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata”, meminta agar konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata diterapkan secara lebih sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini mendorong PBB untuk menangani pula Hukum Humaniter Internasional.

KESIMPULAN
Hukum Humaniter Internasional membedakan dua jenis pertikaian bersenjata, yaitu sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat non-internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum humaniter adalah Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri. Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan.




 DAFTAR PUSTAKA


Buku

Hadi, Soetrisno, 1987,Metodologi Research, UGM, Yogyakarta.
Permatasari, Arlina, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta.
Rudy, T. May, 2009, Hukum Internasional 2, PT. Reifika Aditama.
Strike, J.G. Pengantar Hukum Internasional edisi ke 2, Sinar Grafika.


Rabu, 12 Desember 2018

Bangsa Papua (Melanesia) Ada Sejak Nenek Moyang Sebelum Negara Indonesia dan Bangsa (Melayu) Ada di Bangsa Papua (Melanesia)


Bangsa Papua (Melanesia) Ada Sejak Nenek Moyang Sebelum Negara Indonesia dan Bangsa (Melayu) Ada di Bangsa Papua (Melanesia)

Penjajahan Bangsa Melayu Atas Bangsa Melanesia.
Penjajahan
Penjajahan pada hakekatnya merupakan penghisapan oleh suatu bangsa atas bangsa lain Seperti halnya Bangsa Melayu dan Negara Indonesia atas bangsa Papua (Melanesia) yang ditimbulkan oleh perkembangan paham kapitalis (Amerika Serikat AS), dimana pelosok penjajah Imperialisme Amerika Serikat (AS) membutuhkan bahan mentah bagi industrinya Amerika Serikat (AS) dan pun pasar bagi hasil industrinya Amerika Serikat (AS).  Maka Inti dari penjajahan Paham Kapitalis Amerika Serikat di sini. adalah penguasaan wilayah bangsa lain Seperti Imperialisme Amerika Serikat (AS) Yang berpaham Kapitalis Liberal Mengakibatkan Ketergantungan terjadi pada negara Indonesia dan bangsa (Melayu) yang kekurangan modal dan tekhnologi untuk membangun negara Indonesia, terpaksa mengandalkan bantuan negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) yang hasilnya mengakibatkan ketergantungan pada negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, China, Jepang, Prancis Jerman, Australia tersebut. Hubungan keterkantungan ini dikenal sebagai neo-kolonialisme atau (penjajahan dalam bentuk gaya baru). Terhadap Negara Indonesia dan Bangsa Indonesia Yang berwatak Militerisme terhadap Bangsa Papua (Melanesia ini).
Oleh Obock I Silak 
 

Sabtu, 08 Desember 2018

Peristiwa Kematian Karyawan Jalan Trans Wamena- Habema (Nduga) Membawa Duka Yang Dalam Bagi Keluarga Korban Penembakan.

Pandangan Pribadi Ismael R Silak Terkait Penembakan Karyawan PT Istaka Karya di Nduga
Kematian yang biasa saja kita merasa kehilangan, rasa duka, sedi, itu selalu ada sebagai mahluk manusia yang memiliki perasaan tinggi. Apalagi kamatian itu dilakukan oleh manusia lain terhadap manusia lain, rasa sakitnya ditambah dengan kemarahan yang mendalam kendali rasa kamanusiaan sebagai sulit terkendali. Hal dapat terlihat pernyataan Joko Widodo presiden republik indonesia, juga Jk wakil presiden memerintahkan kepada TNI dan POLRI Operasi besar-besaran terhadap penembak (kamis 6 Desember 2018; 18:33 WB). Hal senada juga pernyataan Wiranto menkopolhukam RI. Selanjutnya TNI & POLRI telah dikirim ke Ndugama. 
Sedangkan Letjen. Purn. J. Suryo Prabowo yang wawancarai TV ONE dibawa sorotan tema SULITNYA BASMI SEPARATIS DI PAPU. 
Letjen. Purn. J. Suryo Prabowo memberi tanggapan setiap pertanyaan TV One bahwa persoalan itu sangat kompleks dan berbeda dengan kita. Perbedaan itu yakni:
1. Cara berpikir mereka perbeda;
2. Sejarah orang asli papua perbeda
3. Asal usul orang asli papua perbeda
4. Sejarah proses integrasi/ bergabungnya Papua ke Indonesia 
5. Orang-orang asli Papua perbeda dengan kita orang Indonesia
Orang Papua menyatakan /menunjukan eksistensi membuat jalan bukan untuk orang Papua. Jalan yang bangun hanya untuk orang pendatang berkebun disini. Oleh karena itu mereka menolak pembangunan. Yang kena peristiwa Nduga ini orang Indonesia maka reaksi pimpinan negara RI cepat memerintahkan aparat TNI & POLRI.
Jika seandanya Indonesia membantai dan melakukan kekerasan terhadap aparat militer reaksinya hanya terbatas bahkan sampai terjadi pembiaran.
Kematian orang asli Papua selama 55 tahun lebih merupakan kesedihan dan luka yang mendalam terharap kematian, kekerasan yang menerima nasib dan menatap kesedihan serta tangisan air mata. Kekelihaan terancam punahnya masa depan orang asli Papua ini sangat dirasakan orang asli terhadap banjir migran Indonesia yang di kawal oleh militer Indonesia.
Apalagi pembangunan infrastruktur dilihat sebagai bentuk operasi militer dengan bentuk yang lain. Karena terbukti bahwa pembangunan di Papua bukan untuk orang asli Papua. Semua pembangunan di Papua ini dilakukan untuk orang Indonesia terutama migrasi yang datang tinggal di Papua.
Orang menerima kematian dan kekeran pembangunan dalam hal yang dilakukan oleh aparat militer Indonesia.
Oleh Ismael R Silak
Holandia 07 Desember 2018

Minggu, 02 Desember 2018

seorang politikus hanya memikirkan pemilihan/pencalonannya ke kursi publik serta jabatan publik namun seorang negarawan memikirkan nasib generasi berikutnya[dia

Manokwari, 2 Desember 2018.
James Freeman Clarke mengatakan, “ A politician thinks of the next election. A statesman, of the next generation” atau bila di bahasa Indonesiakan dan di uraikan lebih, seorang politikus hanya memikirkan pemilihan/pencalonannya ke kursi publik serta jabatan publik namun seorang negarawan memikirkan nasib generasi berikutnya[dia]. Kita di tanah yang penuh dengan harapan serta ketertinggalan, kita sudah tidak bisa mengelak lagi kalau kita membutuhkan seseorang/kelompok/golongan negarawan yang hari ini pikir benar-benar nasib generasi dibawah mereka. Ya, kami/kita ini semua. Pandangan saya, hari ini, di kota yang saya duduk[Manokwari] ini, belum muncul sosok pemimpin yang kita harapankan ini. Ini memang memilukan namun juga menjadi kesempatan emas bagi kami, saya, koi, kita semua yang sedang baris dibelakang ‘mereka’ yang sudah deluan ini, untuk sepakat kalau kita/kami/koi/saya sudah setuju untuk menjadi negarawan.
Menurut saya, menjadi negarawan itu memang tidak mudah. Ya, tidak mudah karena hal paling fundamental seperti yang di ungkapkan Antonio Villaraigosa: tidak ada siapapun yang berada di atas hukum (no one is above the law) – mau politikus, mau pendeta, mau kriminal, mau polisi, mau tentara, kita semua sejajar di mata hukum yang mempertegas/mengingatkan kita bahwa siapapun kita, kita bertanggung jawab atas perbuatan kita (We are all accountable for our actions). Ini hal PENTING yang harus kita ingat sebagai calon pemimpin/negarawan negeri dan tanah perjanjian ini.
Untuk saya, menjadi seorang politikus itu sangatlah mudah. Cukup kita lakukan apa yang dilakukan oleh sosok Theodore Roosevelt. Dia mengatakan, untuk menjadi seorang polikus sukses, atau ketika menjadi seorang politikus, seseorang cukup ‘bantu’ mengatakan apa yang masyarakat[rakyat, kelompok, golongan] sedang memikirkan/bepikir, dengan secara rutin, tegas, diulang-ulang, dan disampaikan dengan suara yang BESAR. Tapi saya mohon maaf karena saya sendiri tidak ingin mendorong siapapun untuk menjadi seorang politikus dan melakukan apa yang disarankan tuan Theodore Roosevelt ini. Saya lebih mau ajak kita semua untuk menjadi negarawan dan bukan hanya sekedar politikus.
Lanjut, pandangan saya tentang pemerintah tanah ini – dua provinsi yang menaungi 7 wilayah adat, negeri emas yang didiami oleh burung cenderawasih/burung surga, yang hanya hidup dan ada di tanah ini, harusnya memimpin sebagai negarawan. Ya, Bapak/Ibu dorang pemangku kebijakan yang di pilih oleh kami ini hendaknya menjadi negarawan yang berpikir ‘setengah gila’ karena memimpin tanah ini harus begitu. Setengah gila ini saya maksudkan adalah kalau memang Jakarta tidak merespon kepentingan orang Papua yang di usulkan dalam bentuk peraturan-peraturan daerah, yang mungkin dinilai bertentangan dengan kepentingan mereka[Jakarta], ya, Bapak/Ibu lanjut jalan saja. Hari ini kalau tidak demikian, makin hari/bulan/tahun, kita yang ada ini akan jadi ‘pengemis’ di negeri kami ini karena arus desakan dari ‘luar’ ini akan datang. Sebenarnya ‘maaf’ karena yang sekarang pun kami ini sudah terdesak jadi Bapak/Ibu, kami penerusmu minta tolong untuk segera kasih ‘jalan bola’ sudah semua hal prinsip yang perlu di kerjakan hari ini untuk menyiapkan masa depan yang baik untuk kami.
Terakhir, untuk menjadi pemimpin negarawan, kita semua perlu tahu bahwa apapun itu, entah kita mungkin dididik di luar negeri, mungkin seorang ilmuwan hebat, politisi, kita hanya dapat menghilangkan rasa kuatir/takut kita ketika hendak menjadi pemimpin/negarawan dengan melakukan/mengerjakan hal-hal “biasa” yang telah di amanatkan/ditugaskan kepada kita karena kalau tidak, hal buruk/sesuatu yang jahat dapat terjadi ketika kita tidak melakukan hal-hal kecil tersebut. Kalau hal kecil saja kita tidak lakukan, seperti kemapanan diri, kemandirian berpikir, maka yang terjadi itu kita akan menjadi orang yang ‘terpaksa’ harus menyesuaikan diri/pikiran terhadap kondisi ‘tidak ideal’ yang dikuasi dan di jalankan oleh mereka-mereka yang dipercayakan namun bisa jadi sedang menyalahgunakan kekuasaan.
Penulis: George Saa (Penulis Essay Pendidikan, Kesehatan, Sosial-Politik dan Ekonomi

LOBI POLITIK PEMERINTAHAN JOKOWI TERHADAP MASALAH PAPUA DI MELANESIAN SPEARHEAD GROUP TAHUN 2014-2015

Masalah Papua Selama Dua (2) tahun terakhir ini, dukungan dari berbagai kalangan bagi hak penentuan nasib sendiri bagi orang Papua (self determination) menjadi tantangan besar yang di hadapi pemerintah Indonesia di bawah Pemerintahan Jokowi. Dukungan itu mengalir dari berbagai kalangan terutama Organisasi Sub Regional Melanesian Spearhead Group (Non Governmental Organizations (NGOs), Masyarakat Internasional, aktivis hak asasi manusia, pemuka agama Pasifik selatan, bahkan negara resmi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa seperti Vanuatu,Solomon Islands secara resmi mengangkat isu Papua di forum Perserikatan Bangsa Bangsa. Dan Tujuh negara pasifik selatan yang membentuk koalisi pasifik untuk papua barat Pasific Islands Coalition For West Papua di antaranya Vanuatu, Solomon Island, Tonga, Tuvalu, Palau, Marshall Islands, Nauru, dalam 71 Session of the United Nations General Assembly
General Debate debat umum Perserikatan Bangsa Bangsa Maka Pemerintahan Jokowi Melancarkan lobi politik dan diplomasi kerja sama ekonomi Pemerintahan Jokowi dalam menggalang dukungan Internasional dalam kaitannya keanggotaan Melanesian Spearhead Group agar masalah Papua tidak di perbesar-besarkan sehingga meminimalisir potensi disintegrasi bangsa Indonesia. Lobi Politik pemerintahan Jokowi dalam menyelesaikan masalah Papua ini diterapkan melalui politik luar negeri. bebas aktif dengan melihat kondisi kekinian bangsa Indonesia yang berlandaskan pada. kebijakan luar negeri perlu diabdikan dan ditujukan untuk mencapai kepentingan nasional, yakni mencapai dan mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Diplomasi tetap dijalankan berdasarkan politik luar negeri bebas dan aktif. mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara poros maritim dunia. Diplomasi poros maritime dunia tetap dijalankan berdasarkan politik luar negeri bebas dan aktif. oleh Presiden Jokowi. Dalam kaitan itu, Indonesia telah membangun kemitraan strategis dengan seluruh negara-negara besar dan sebagian besar dunia. Indonesia juga terus mengupayakan keseimbangan yang dinamis di kawasan, sehingga pergeseran geopolitik yang kini sedang terjadi tidak mengakibatkan ketegangan atau konflik baru.
Dalam Lobi Politik penyelesaian masalah Papua melalui politik luar negeri pemerintahan Jokowi ini kadangkala menuai keberhasilan memecah bela duo Melanesian Spearhead Group PNG dan FIJI yang mendukung kedaulatan Indonesia sehingga dukungan negara-negara Melanesian Spearhead Group terhadap hak penentuan nasib sendiri menurun kadangpula mengalami kegagalan diplomasi dan lobi sehingga dukungan Negara-negara,Gereja-gereja Pasifik, NGOS, Individu terus meningkat terhadap menuntut hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua, terlebih lagi masalah pelanggaran hak asasi manusia.

Kata Kunci : Lobi Politik, Pemerintahan Jokowi, Papua, Melanesian Spearhead Group.
Holandia 02 Desember 2018
Penulis Artikel : Obock I Silak

Teknik Pembuatan Api Tradisional

Pada 1960-an-1980-an masyarakat perkampungan lembah Yahulikma, Ubahakikma dan Sosomikma tidak memiliki akses korek api, dan masih menggunaka...