Selasa, 28 April 2020

INJIL BERSINAR DI LEMBAH SIBIKMA DAN YAHULIKMA



 PROLOG

Tahun 1959 Pendeta F. J. S. Rumainum, Ketua Umum Sinode Pertama Gereja Kristen Injili (GKI)  Irian Barat-sekarang GKI di Tanah Papua boleh kita katakan sebagai bapak leluhur Klasis Balim Yalimu, Yalimu Angguruk, Yalimu Elelim, dan bakal Klasis Balim Selatan.
Pada salah satu perjalanan ke Eropa Pdt F. J. S. Rumainum memohon tenaga dua Pendeta dan satu Dokter dari ZNHK untuk daerah Jayawijaya Klasis Balim Yalimu, Yalimu Angguruk, Yalimu Elelim, dan Bakal Klasis Balim Selatan sekarang. Sekretaris Umum ZNHK (Zending Nederlands Hervormde Kerk) , Dr. Locher pada waktu itu menyarankan agar permohonan itu diajukan kepada badan PI RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) sekarang di sebut VEM (Vereinte Evangelische Mission) di Jerman. Pdt F. J. S. Rumainum bertemu dengan pimpinan  zending VEM sesudah hal itu dipertimbangkan dan didoakan, maka dicapai diantara tiga pihak, Yaitu: GKI ZNHK dan VEM. ZNHK rela membiayai pekerjaan kesehatan, VEM mau membiayai pekerjaan  Pekabaran Injil (PI) di Jayawijaya pegunungan Papua Barat, Klasis Balim Yalimu, Yalimu Angguruk, Yalimu Elelim, dan Bakal Klasis Balim Selatan.
Dalam hubungannya itu ZNHK mengutus Dokter W. H. Vriend RMG atau VEM mengutus Pendeta Dr.Siegfried Zollner serta Pendeta Paul Gerhard Aring.
Pendeta Dr.  Ziegfried Zollner dan Dokter W. H. Vriend tiba di Papua Barat pada 24 September 1960 selama menempuh perjalanan kurang lebih 42 jam dari Jerman sampai tiba di Papua Barat. Pada Oktober 1960 menyusul Pendeta Aring dan keluarganya tiba di Jayapura dengan menggunakan kapal laut. Pada bulan dan Tahun yang sama juga, Dr.de Kleine,  Direktur RMG atau sekarang VEM melakukan kunjungan dinas ke Holandia sekarang Jayapura, atau Papua Barat. Dalam kunjungan ini maksudnya bertemu dengan para pimpinan GKI Irian Barat-sekarang pimpinan GKI di Tanah Papua dan melihat dari dekat pos-pos pekabaran injil di daerah pedalaman Pegunungan Papua Barat.
Setelah beberapa hari di Jayapura De Kleine berangkat ke pos pekabaran Injil di Tiom lewat Wamena di lembah Balim bersama rombongan yang terdiri dari Dr. Ziegfried Zollner, F. J. S. Rumainum, dan Dokter W. H. Vriend.
Di Tiom mereka berkunjung (ke pos pekabaran Injil di Tiom disana ada)  Bapak. Nils van der Stoep untuk membicarakan masalah wilayah pelayanan. Pada hari berikut mereka berangkat dari Tiom dengan pesawat Cessna untuk memantau daerah Timur (Yali) dari udara. Sebentar saja mereka singgah di Wamena, lalu terbang ke Angguruk mengikuti kali Baliem dan lembah Heluk (Ninia). Pemandangan pesona lembah Baliem dan Yalimu dari atas pesawat Cessna memang sangat menakjubkan, terlihat kebun-kebun dan perkampungan warga Ninia. Dengan menelusuri tepi gunung Nuruhumeg dan kali Yahuli akan tampak lahan kebun dan perkampungan orang Timur (Yali) di sekitar Angguruk. Termasuk juga memantau seluruh lembah Yahulikma, Ubahag Ikma, Sibikma, dan lembah Pontengikma lalu mereka pulang ke Sentani.  Di Sentani de Kleine dan Zollner membuat janji bertemu dengan kepala pilot MAF David Steiger,  untuk maksud kesediaan pihak MAF membantu rencana pembukaan daerah pekabaran Injil yang baru, khususnya melayani penerbangan ke daerah Baliem Yalimu.  Dan pilot David Steiger bersedia untuk memberikan bantuan pelayanan penerbangan MAF untuk membuka pekabaran Injil di daerah baru itu.
Dokter Vriend dan Zollner dari Sentani berangkat ke Wamena lagi melalui Tiom sekarang Lani Jaya.  Mereka menginap di Hotel Nayak dekat bandara Wamena.  Sekali lagi Dokter Vriend dan Zollner dengan Pilot memantau daerah Timur (Yali) dari udara dan pulang kembali ke Wamena.
Selama di Wamena Vriend dan Zollner mencari informasi tentang hubungan ke daerah Timur (Yalimu)  mereka tahu dari masyarakat di Wamena bahwa biasanya ada kontak orang Timur (Yali) di Kurima. 
Mereka berjalan kaki ke kampung Kurima dan membangun sebuah pondok yang beratapkan alang-alang sebagai tempat berteduh sementara. Tidak jauh dari kampung Sielma/Seinma dan kampung Hitigima.
Selama tinggal di Kurima mereka mencari informasi ke masyarakat bagaimana mereka ke daerah Timur (Yalimu).  Beberapa hari kemudian tiga orang Timur (Yali)  dengan terlilit rotan di badan datang Kepada Vriend dan Zollner di pondok. Ketiga orang Timur (Yali)  itu mendapat kabar dari masyarakat bahwa ada dua orang missionaris kulit putih membutuhkan bantuan untuk ke daerah timur (Yalimu).
Di perkirakan itu bulan Desember menjelang hari raya Natal. Saat itu hanya Pdt Zollner sendiri yang tinggal di Kurima sedangkan Dokter Vriend ke Jayapura.
Pada tanggal 3 Januari 1961, Pdt Zollner meninggalkan Kampung Kurima dan berpindah ke kampung Yuwarima. Dengan harapan bahwa bisa mendapatkan informasi dan kontak dengan Orang-orang Timur (Yali)  di kampung Yuwarima. Sementara menetap di kampung Yuwarima dijadikan sebagai base camp untuk ke daerah Timur (Yalimu). Selama beberapa  hari di kampung Yuwarima Orang-orang sudah datang sampaikan kesetiaan mereka untuk mengantarkan ke daerah dibalik gunung.
Sedang mempersiapkan diri untuk berangkat ke daerah Timur (Yalimu), mereka dikejutkan oleh kedatangan tamu tak diundang dari Timur (Yalimu), yaitu dua orang yang bernama Ninggi dan Isel. Mereka datang membawa pesan se ekor anak babi. Itu artinya bahwa mereka tidak setuju pendeta Zollner dengan rombongan pergi ke kampung daerah Timur (Yalimu). Maksud mereka biar mereka saja yang datang mengunjungi pendeta Zollner dengan rombongan di kampung Yuwarima dan katanya (hite nit wereg ambeg lahup fug).  Mereka ingin membawakan beberapa ekor babi untuk ditukarkan dengan kapak besi. Tetapi pdt Zollner berpesan dengan hati-hati bahwa "Kami akan datang kepada Kalian di Timur (Yalimu)".
Pada 20 Maret 1961 Pendeta Zollner bersama rombongan melanjutkan perjalanan ke kampung Piliam jarak dari kampung Yuwarima ke kampung Piliam selama empat hari. Mereka harus bermalam tiga kali di gunung Sisim, Yetohik dan Abiangge. Walaupun kepala kampung Yuwarima Bapak Polaimakwe menahan rombongan tinggal beberapa hari lagi di Kampung Yuwarima tapi rombongan tetap berangkat dimana Dokter Vriend, Gerson Mambrisauw dan pendeta Manase Yoku lebih dulu berangkat ke Sisim disana mereka menunggu pendeta Zollner dan Penginjil Medat Maban tiba disana bersama seorang Kampungan Piliam bernama Elesoni juga tiba hari yang sama. Berita kedatangan rombongan sudah tiba di Kampung Piliam, hari berikutnya beberapa orang Kampung Piliam datang menyebut rombongan. Melalui gunung Elit Vriend di bantu oleh mereka yang lain Zollner di bantu oleh bapak Soborehen dari Piliam mereka dapat tiba di Abiangge istirahat hari ketiga Zollner dan Vriend memberi jabat tangan kepada orang Piliam tapi mereka malu-malu menarik tangan mereka.
Orang dari Kampung Piliam sudah pada berdatangan di Abiangge. Di benak Zollner bersama rombongan rasa khwatir jangan sampai mereka menyerang atau mengusir. Sebab di daerah Timur (Yali) diisukan secara luas bahwa "orang aneh sedang menuju ke daerah timur (Yali)". Ternyata justru sebaliknya.
Pada 24 Maret 1961 tiba di Kampung Piliam Suwele. Selama beberapa hari di Kampung Piliam Orang Piliam menerima rombongan dengan cara bakar batu lima ekor babi melalui cara makan bersama.
Rombongan Zollner dan Vriend mereka tinggal di Suwele selama kurang lebih hampir satu bulan satu minggu dari tanggal 24 maret sampai 30 April.
Dari Kampung Piliam rombongan berangkat berjalan kaki menuju ke Kampung Waniok.
Ada seorang bernama Senggebin dari Waniok datang sehari sebelumnya bertemu dengan Dokter Vriend dan Pendeta Zollner waktu masih di Piliam. Dia datang meminta bantuan pendeta Zollner dan Dokter Vriend untuk bagaimana menghentikan konflik antara orang Sibikma dan Yahulikma. Kata "Senggebin bahwa konflik antara orang Waniok dengan orang Piliam menciptakan hubungan keluarga yang tidak normal dan harmonis.
Pada 30 April 1961 Dokter Vriend, Pendeta Zollner, Sabumondek, Weagahun, Suhulhalug berangkat naik ke Fungfung bukit batas wilayah antara Kampung Piliam dan Waniok. Sabumondek terus meneruskan perjalanan ke Waniok, kalau orang Wabiok bersedia menerima rombongan ia akan kembali dan memberitahukan mereka yang menunggu di Fungfung. Orang di Piliam tidak ikut, karena mereka berperang dengan orang Yahulikma Maban dan Mambrisauw juga tinggal di Piliam.

Pada 01 Mei 1961 pagi-pagi sekali Sabumondek dengan orang Waniok datang menyembut mereka di Fungfung. Rombongan dijemput oleh ratusan orang Waniok dan di antar ke Piyinggig Silimu.  Sabumondek bilang: kepada orang Waniok', "Yang datang ini orang Pahabol, berilah salam kepadanya! Maksudnya Pendeta Zollner dan Dokter Vriend adalah orang Pahabol. Lalu menerima mereka dengan sapaan salam Om...om...om (Namia... Namia... Namia). Orang Waniok membangun rumah pemondokan beratapkan alang-alang di Piyinggig Silimu. Pada hari besoknya Kepala suku Piringi Salak dan Orang Waniok bakar batu empat ekor babi sebagai tanda menerima mereka untuk makan bersama.
Pada 3 Mei 1961 Zollner kembali ke Piliam menyembut Maban dan Mambrisauw. Pada 4 Mei 1961 rombongan Zollner bersama-sama dengan beberapa orang Piliam berjalan kaki menuju Fungfung. Sana mereka dijemput oleh orang Waniok yang sudah tiba tadi menunggu kedatangan mereka. Rombongan begitu terkejut ketika mereka tahu bahwa akan ada upacara Perdamaian di Fungfung antara orang Waniok dengan orang Piliam. Sekumpulan orang menyanyikan lagu-lagu yite sini, ada yang berpidato, dan kemudian kedua pihak ingin berdamai itu saling menukar babi sebagai tanda perdamaian. Beberapa orang Waniok mengantarkan Zollner dan rombongan ke Piyinggig Silimu. Mereka tinggal di Waniok dari tanggal 1-18 Mei 1961, dari situ mereka jalan pulang pergi ke Angguruk mengukur tempat di mana mau bangun lapangan. Pada 19 Mei 1961 rombongan berpindah dari Waniok ke Angguruk dengan jalan kaki satu hari perjalanan melalui Kampung Tenggeli.

 Obock I Silak

Disatur dengan prolog pekabaran injil pada Aslinya.

Rabu, 22 April 2020

Refleksi Saja
Belajar untuk "Cinta Menulis"
Oleh : Obock

Pendahuluan
Mendengar adalah kata dasar dari dengar, jadi dengar akan sesuatu dengan sungguh-sungguh, memasang telinga baik-baik untuk mendengar atau dapat menanggap suatu bunyi. Misalnya  sedang mendengar warta berita memperhatikan, mengindahkan; menurut nasihat, bujukan, orang tua (Bapak) dan sebagainya.

Demikian pula Membaca adalah juga salah satu keterampilan berbahasa. Dan juga kegiatan memahami teks bacaan dengan tujuan untuk memperoleh informasi dari teks atau buku yang kita umumnya baca.
Membaca  juga berfungsi untuk mengetahui lebih banyak tentang bacaan.

Tentang penulisannya atau permasalahan yang dibacarakan mulai dari awal masalah sampai pemecahan masalah atau akhir berita.

Maka Menulis juga adalah suatu kegiatan menyampaikan suatu ide atau gagasan baik itu tulisan huruf, angka, menggunakan tangan dengan pensil, pulpen, spidol melaui media berupa batu, kertas, buku, ataupun yang paling populer saat ini melaui  media sosial.

Dengan demikian budaya adalah juga suatu pola hidup yang tumbuh dan berkembang pada sekelompok manusia yang mengatur agar setiap individu mengerti apa yang harus dilakukan, dan untuk mengatur tingkah laku manusia dalam berinteraksi dengan manusia lainnya.

Secara khusus Orang Pegunungan Tengah Papua sama seperti saudara-saudaranya di seluruh serumpun papua Ras Melanesia hitam kulit, keriting ramput, jadi orang Pegunungan Tengah Papua mendengar segala sesuatu sungguh-sungguh, memasang telingah baik-baik untuk mendengar atau menanggap suatu bunyi,
Misalnya mereka orang Pegunungan Tengah Papua sangat menghormati dan menuruti nasihat-nasihat atau ancuran-ancuran orang yang lebih tua dari mereka, mereka yang tidak menurutinya akan mengalami akibatnya sendiri, dari sejak turun temurun dan di wariskannya dari generasi ke generasi.

Orang Pegunungan Tengah Papua secara lisan mereka mampu membaca dan memahami secara konteks mereka orang-orang Pegunungan Tengah Papua dan mereka mempunyai keterampilan menyampaikan informasi secara lisan dari dalam ingatan mereka yang begitu luar biasanya tidak pernah hilang dari ingatan mereka tanpa melihat dan menyampaikan memakai catatan sedikipun.

Orang Pegunungan Tengah Papua tidak pernah sama sekali mengenal yang namanya menulis, apalagi menulis dalam bentuk tulisan di pohon, batu, rumah, atau bahkan segala sesuatu yang ada di sekitar mereka, untuk dijadikan sebagai bahan tulisan mereka belum ada sama sekali tahu, mereka hanya menyimpan cerita mereka  secara lisan dari turun temurun, luar biasanya otak mereka  bisa menyimpan cerita dari generasi ke generasi andai saja otak Albert einstein perancang teori M=c2 dan Thomas Alva edison penemu bola lampu.

Budaya juga adalah suatu cara hidup yang terdapat pada sekelompok manusia, yang berkembang dan diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya.

Orang Pegunungan Tengah Papua memiliki 7 unsur kebudayaan dan sanagat kaya dengan pengetahuan mereka, ideologi mereka, sistem artefak dan kerajinan tangan mereka, sistem pencaharian mereka, berburu ke hutan, sistem religi mereka suci atau rahasia dan lain sebaginya.
Bersambung............

Akhir kata

Mendengar adalah Budaya Saya, Membaca dan Menulis bukan budaya saya Melainkan belajar untuk "Cinta Menulis".



Rabu, 27 November 2019

Dampak Diskriminasi Rasialisme Surabaya Terhadap Mahasiswa Papua Tahun 2019


Alasan penulisan
Sebuah negara di dunia ini tidak dapat luput dari masalah multikultural, pihak lain merasa superior terhadap pihak lain dianggap inferior apalagi Negara semacam Indonesia yang berbagai macam suku,ras,dan agama ini.
Penulis mempunyai beberapa alasan mengapa penulis tertarik untuk menganalisa tentang Dampak Diskriminasi Rasialisme Surabaya Terhadap Mahasiswa Papua Tahun 2019, karena penulis melihat bahwa upaya menyelesaikan dampak Rasisme kedua suku bangsa yang berbeda ini belum ada niat baik untuk penyelesaian yang serius oleh Negara sehingga penulis ingin mengkaji lebih jauh lagi mengenai dampak Rasisme tersebut khususnya untuk Papua begitupun Surabaya. Selain itu penulis juga ingin mempelajari tentang faktor-faktor apa yang menyebabkan sehingga Surabaya memandang Mahasiswa Papua secara Rasial. .
Ratusan massa dari berbagai ormas (Organisasi Masyarakat) menggeruduk asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur pada 16 Agustus anggota ormas (Organisasi Masyarakat) telah melanggar HAM.
Keesokan harinya, 17 Agustus, polisi mulai memaksa masuk ke asrama sembari membawa senjata pelontar gas air mata. Lalu, sebanyak 43 mahasiswa papua di dalamnya pun sempat ditangkap meski setelah itu  dilepaskan oleh pihak kepolisian.
Insiden itu bermula dari beredarnya foto yang menunjukkan kerusakan tiang bendera merah putih jatuh di selokan depan asrama kamasan mahasiswa Papua.
Sekelompok massa dari ormas (Organisasi Masyarakat) yang  merasa tak terima pun langsung mendatangi asrama kamasan mahasiswa Papua. Dari ratusan massa itu terdapat sejumlah kelompok yang mengenakan atribut ormas (Organisasi Masyarakat) FPI (Front Pembela Islam) dan Pemuda Pancasila. Mereka datang dengan lantang menyanyikan ‘bantai papua’ di depan asrama kamasan mahasiswa Papua.
Menanggapi hal ini Pemprov Papua lewat rilis di sebarkan pada 18 Agustus Gubernur Lukas Enembe meminta seluruh Rakyat Papua dimana pun berada tak ikut panas menyikapi peristiwa yang terjadi di Surabaya. Pemprov Papua prihatin dan empati atas insiden yang terjadi di kota Surabaya, kota semarang, dan kota malang yang berakibat adanya penangkapan dan atau pengosongan Asrama Mahasiswa Papua di kota Surabaya oleh aparat keamanan.

Pemerintah Indonesia sebagai Negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah meratifikasi konvensi anti diskriminasi ras dan etnis serta telah membuat aturan legislasi Nasional terkait anti diskriminasi ras dan etnis sehingga baik secara nasional maupun internasional Pemerintah Indonesia punya kewajiban untuk tidak melakukan atau  bahkan justru memberantas praktik-praktik diskriminasi ras dan etnis.
Terkait dengan hal itu pemerintah Indonesia merespon dalam hal ini kepala staf kepresidenan Moeldoko mengatakan presiden Jokowi telah meminta Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Muhamad Tito Karnavian menindak aparat yang terbukti berbuat rasis.
Menanggapi hal itu respon datang dari kepala staf Kodam V/Brawijaya Brigadir Jenderal Bambang Ismawan mewakili Pangdam V/Brawijaya adanya indikasi keterlibatan personel TNI didalam kejadian di Asrama Kamasan Mahasiswa Papua. Brigadir Jenderal Bambang Ismawan  mengatakan pihaknya masih melakukan penyidikan terhadap personalnya yang terbukti melakukan pelanggaran ujaran rasis bakal diberi hukuman.


Ras merupakan konsep sosial yang timbul dari usaha untuk mengelompokkan orang dalam kelompok-kelompok yang berbeda. Indentitas rasial biasanya berhubungan dengan ciri-ciri fisik luar seperti warna kulit, tekstur rambut, penambilan wajah, dan bentuk mata.
Konsep rasial berlaku di Amerika serikat sebagai gagasan secara sosial yang tidak di ragukan berhubungan dengan warisan historis seperti perbudakan, penganiayaan suku Indian di Amerika, Isu hak sipil, dan yang terbaru peningkatan imigran. Sulit untuk menyatakan akibat dari rasisme, karena efeknya dapat secara sadar ataupun tidak sadar. Apa yang kita ketahui adalah bahwa rasisme membahayakan bagi penerima perilaku yang merusak ini juga kepada pelakunya sendiri. Tindakan rasisme merendahkan si target dengan mengingkari indentitasnya, dan hal ini menghancurkan suatu budaya dengan menciptakan pembagian kelompok secara politik, social, dan ekonomi dalam suatu Negara (Samovar dkk,2010:187-211)

Teori Poligenisme yang menyatakan bahwa keragaman ras manusia berasal dari garis evolusi yang berbeda-beda. Poligenisme masih menempatkan orang kulit hitam di antara manusia dan primate sejenis kera (monyet). Sehingga mereka diposisikan lebih rendah dari orang kulit putih atau orang Asia sekalipun.

Teori Monogenisme menyatakan dan yakin bahwa manusia berasal dari satu sumber yang sama, sejalan dengan narasi Alkitab dan diyakini orang-orang saleh saat itu. Ironisnya kaum pro perbudakan adalah penganut Teori Monogenisme disisi lain berbeda pandangan bertentangan dengan poligenisme dengan kitab suci. Sedangkan pendapat lainnya monogenis sama-sama yakin bahwa gagasan poligenisme selama itu pula bisa menjustifikasi adanya perbudakan monogenisme.

Rasisme Surabaya, Malang dan Semarang terhadap mahasiswa Papua di bidang pendidikan akan memberikan dampak negatif karena akibat dari rasisme warga subaraya terhadap mahasiswa papua mengganggu secara phisikologi mahasiswa yang ingin kembali berkuliah
Jika mahasiswa Papua kembali melanjutkan kuliah sebelum menangkap dan mengadili pelaku rasisme di Surabaya maka mahasiswa papua dapat dengan mudah melanjutkan studi dan juga tidak melanjutkan studi dan Surabaya juga pun sebagaian akan melakukan kesadaran stereotypy atau cara pandang terhadap mahasiswa Papua.


Aparat TNI-POLRI atau Polisi Indonesia gagal mengatasi rasisme terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur kota Surabaya dan Malang, 16-18 Agustus 2019.

Dampaknya merambat ke seluruh Tanah Papua.  Berbagai macam sendi kehidupan orang Papua secara phisikologis terganggu termasuk penulis sendiri. Semua dampak telah menulis dan berpendapat, Namun penulis melihat dari sisi dampak rasisme terhadap ribuan  mahasiswa Papua yang eksodus sampai saat hari ini masih pertahan di Tanah kelahiranya Papua, sambil menunggu menangkap dan mengadila para pelaku diskriminasi rasisme, dan represif. Bahkan mereka telah menuruti respon atas pernyataan melansir dari media nasional kompas.com, Presiden Jokowi memahami bahwa masyarakat Papua menurutnya Provinsi Papua dan Papua Barat tersinggung atas kekerasan terhadap mahasiswa asal Papua di Jawa Timur kota Surabaya dan Malang 16-17 Agustus lalu. “Jokowi meminta masyarakat Papua untu memaafkan pihak-pihak membuat mereka tersinggung terkait kasus Surabaya dan Malang. sudah kita saling memaafkan aja” menanggapi kata saling “memaafkan” ini, Gubernur Papua Lukas Enembe justru sebaliknya berpikir untuk menarik Mahasiswa Papua untuk kembali kuliah di Tanah Papua, pernyataannya “Kalau wilayah NKRI tidak aman akan memulangkan mahasiswa yang menuntut ilmu di seluruh Indonesia” pernyataan itulah yang membuat ribuan mahasiswa eksodus ke Papua. Tapi menurutnya Gubernur, Papua aman jadi tidak usa pulang maksudnya disini aman secara stabilitas daerah melainkan aman  secara phisikologis manusia Papua itu sendiri menurut hemat penulis.

Selain pernyataan Gubernur pernyataan lainnya datang dari Majelis Rakyat Papua (MRP) Minta Mahasiswa Papua pulang dan lanjut studi di Tanah sendiri (Papua). Maklumat tersebut berisi “seruan kepada mahasiswa papua di semua kota studi pada wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menyerukan kepada mahasiswa papua bila tidak ada jaminan keamanan dan kenyamanan dari pemerintah provinsi, pemerintah kab/kota, dan aparatur TNI/Polri di setiap kota studi, maka di seruhkan, para mahasiswa untuk dapat kembali melanjutkan  dan menyelesaikan studinya di Tanah Papua” maklumat di keluarkan dan disahkan Jayapura pada Rabu (21/08/2019).  menyusul berbagai tindakan rasisme,kekerasaan, dan persekusi dari TNI/Polri, Ormas dan kelompok masyarakat yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, Semarang dan Makasar.


Keputusan yang diambil oleh mahasiswa Papua kembali ke Tanah airnya sendiri (eksodus) bukan persoalan akademik semata, tetapi pesoalaan situasi dan kondisi sosial-budaya berdampak dari rasisme kota Surabaya,kekerasaan, dan persekusi dari TNI/Polri, Ormas dan kelompok masyarakat yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, Semarang dan Makasar. yang tidak mendukung mereka bertahan mengeyam ilmu di perantauan. Rasa Kenyamanan dan keamanan tidak menjamin mendukung mereka. Soal kembali lanjut studi, kapan saja bisa. Tetapi, apakah ada jaminan keamanan dan kenyamanan dalam hal hemat penulis keamanan manusia (human security) artinya pihak lain merasa aman di lindungi, selama itu pula pihak lain diabaikan rasa amannya terancam (barry buzan). Akankah keamanan merasa aman tercipta bagi mereka mahasiswa eksodus?
Media- media nasional kita membaca ada bebarapa institusi telah mendukung dan bersatu dengan gerakan masyarakat sosial-budayanya untuk mematakan gerakan, kehidupan mahasiswa eksodus.
Kita sebagai orang Papua, apa yang harus kita lakukan? Biarkan berlarut ataukah tindakan apa yang kita buat?.
Realita melihat respon pemerintah provinsi terhadap mahasiswa eksodus memaksa mahasiswa eksodus kembali, kampus-kampus di papua tidak menerima mahasiswa eksodus sebagai mahasiswa yang nasib masa depan mereka sama dengan mahasiswa yang kuliah di kampus-kampus di papua, sekalipun mendirikan posko umum auditorium uncen kampus yang terkenal di papua ini. Kepolisian mengejar dan memburu mahasiswa eksus bahkan korban berjatuhan tanggal 23 September itu uncen dan ekspo menjadi saksi bisu atas perbuatan ini justru menyingkirakan ribuan mahasiswa dari peran sosial-budanyanya sebagai anak papua dan mereka akan mengalami dunia transisi. Kalau begini akankah orang papua dan mahasiswa yang kuliah di papua ini tinggal diam seribu bahasa?
Nasib mahasiswa eksodus secara akademik korban bahkan apalagi nyawa mereka menjadi taruhkan kepada bangsa dan harga dirinya sebagai orang papua itu sendiri. Realita transisi  ini tidak ada pihak lain selain mahasiswa eksodus menawarkan solusi atau jalan menyelesaikan, biarkan mereka mahasiswa ini eksodus menentukan sikapnya yang jelas untuk masa depannya mereka dan masa depan Papua kita.

Penulis Obock I Silak





Kamis, 08 Agustus 2019

SEJARAH BERDIRINYA KNPB DAN KNPB SEDANG KEMANA



Komite Nasional Papua Barat (KNPB) didirikan pada tanggal 19 November 2008, di Aula STT. Walter Post, Sentani, West Papua, oleh berbagai organisasi perlawanan dan aktivis-aktivis Mahasiswa dan masyarakat. Pada pembentukan ini, Buchtar Tabuni dan Victor F. Yeimo yang sebelumnya memimpin aksi mendukung peluncuran IPWP di London, 15 Oktober 2008, dipilih menjadi Ketua Umum dan Ketua 1 KNPB.

Pembentukan KNPB dilaksanakan di tengah eksodus Mahasiswa Papua dari Manado dan Jawa-Bali, yang kembali ke West Papua, bergabung dengan aktivis mahasiswa, dan masyarakat di Jayapura, menduduki lapangan Makam Alm. Theys H. Eluay di Sentani, di mana dari sini, mereka menyeruhkan “Papua Zona Darurat”.

Pada tanggal 1 Desember 2008, Buchtar Tabuni di tangkap Polda Papua. Begitu juga aktivis Sebby Sambom. Sementara, Victor F. Yeimo mengambil alih kerja harian dibantu Elly Sirwa, Musa Mako Tabuni, Hubertus Mabel, Erik Logo, Warius Warpo Wetipo, Esyik Wea, Ones Suhuniap, Albert Wanimbo, Jefry Tabuni, Benyamin Gurik, Kantius Hisage, Fanny Kogoya, Fero Hubi, Yusak Bazoka Logo, Patris Wenda, Lamber Siep, dll.

Setelah Tenda Zona Darurat di Lapangan Makam Theys dihancurkan oleh TNI dan Polri, KNPB pindah ke samping kediaman pendopo Theys H. Eluay. Mereka melebarkan jaringan KNPB ke Wilayah-wilayah. Kekuatan semakin bertambah setelah eksodus Mahasiswa se-Jawa dan Bali dipimpin Victor Kogoya, Mecky Yeimo, Ogram Kobabe Wanimbo, Zadrak Kudiay, Danny Wenda, Serafin Diaz, dll meninggalkan Kampus dan kembali ke tanah air melalui Komite Aksi Nasional Rakyat Papua Barat (KANRPB).

Sementara, Free West Papua Campaign (FWPC), di bawah pimpinan Benny Wenda menjalankan kompanye dan lobby politik di luar negeri, terutama di Eropa dan Afrika. Benny Wenda bersama dukungan KNPB dalam negeri menginisiasi pembentukan International Lawyers for West Papua (ILWP). Rakyat West Papua menyambut dengan aksi besar-besaran. Sehari sebelumnya, Musa Mako Tabuni, Serafin Diaz asal Timor Leste ditangkap Polda Papua di Pelabuhan Jayapura. Sementara Yance Mote di Waena.

Sementara di hari peluncuran ILWP, penembakan terhadap masa aksi damai di Nabire oleh Polisi menewaskan 5 orang. Di Expo Waena, Jayapura, aksi berlangsung dalam kepungan TNI dan Polri. Rakyat West Papua menolak Pemilu 19 April 2009. Sementara itu, beberapa aktivis KNPB ditembak mati Polisi seperti Erick Logo. Kemudian penembakan terhadap Yance Yogobi, Dino Uaga, Andy Gobay, Jhoni Hisage dilumpuhkan dengan timah panas dan dipenjara. Sementara Victor Yeimo menjadi buronan alias DPO oleh Polda Papua. KNPB kembali mengadakan Musyawah Besar di salah satu tempat di kota Jayapura dan membentuk struktur dan mekanisme KNPB yang lebih lengkap, sambil menetapkan program-program maksimum dan minimum. Victor Yeimo kemudian ditangkap pada 28 Oktober 2009.

KNPB tidak mengalami kekosongan energi perlawanan. Kerja-kerja harian diambil alih oleh Esyik Wea, Danny Wenda, Hubertus Mabel, Ogram Wanimbo, Warius Wetipo, Fero Hubby, Victor Kogoya, Fanny Kogoya, Mecky Yeimo, dll. Setelah Mako Tabuni dan Diaz dibebaskan dari penjara, mereka bergabung kekuatan dan kemudian mengambil alih gerakan sipil kembali. Memimpin demonstrasi damai KNPB di kota Jayapura.

Sementara Victor Yeimo dan Buchtar Tabuni mendekam di balik terail besi sambil berkoordinasi keluar. Sementara itu, dukungan internasional semakin besar dengan terus bergabungnya parlemen-parlemen dan pengacara-pengacara dari seluruh dunia dalam IPWP dan ILWP. KNPB telah berturut-turut memberikan dukungan pada setiap kegiatannya.

Kongres I KNPB

Pada tanggal 19-22 November 2010, dilaksanakan Kongres I KNPB di Kampung Harapan, Sentani. Seluruh pengurus dan anggota wilayah ikut hadir. Dalam kongres I ini, KNPB memilih kepengurusan baru dan melahirkan resolusi politik dan organisasi. Buchtar Tabuni terpilih kembali menjadi Ketua Umum KNPB. Sementara Musa Mako Tabuni menjadi Ketua 1 KNPB. Jabatan Sekretaris dipegang oleh Agustinus Trapen dan Danny Wenda sebagai Sekretaris I. Juru Bicara Nasional, Jefry Tabuni dan Victor F. Yeimo sebagai juru bicara internasional. KNPB juga memilih Kepala-Kepala Komisariat dan bidang-bidang.

Berikut beberapa resolusi yang dikeluarkan KNPB: 1) Segera menyelesaikan Status Politik West Papua melalui referendum sebagai solusi damai, demokratis dan final; 2) Segera memperkuat internal perjuangan bangsa Papua melalui pembenahan dan penyatuan pertahanan militer, perjuangan sipil dan persatuan diplomat internasional; 3) Mendesak pertahanan militer West Papua untuk bersatu agar mendorong agenda referendum bagi bangsa Papua; 4) Mendesak seluruh elemen perjuangan untuk segera mendorong pembentukan Dewan Nasional sebagai simbul persatuan nasional menuju referendum sebagai resolusi penyelesaian masalah West Papua; 5) Segera menghentikan perdebatan dan konflik internal antara para diplomat internasional dan bersatu dalam kerja-kerja kampanye dan diplomasi demi mendorong proses penyelesaian melalui jalur hukum dan politik.

Setelah kongres selesai dilaksanakan, KNPB fokus pada programprogram organisasi yakni pembentukan Parlemen Rakyat Daerah (PRD) hingga puncaknya terbentuk Parlemen Nasional West Papua (PNWP) sebagai alat demokratis yang merepresentasi kepentingan politik bangsa Papua. Di sini, Buchtar Tabuni yang baru keluar dari Penjara didaulat sebagai Ketua PNWP. Sementara KNPB menyepakati digelarnya Kon gres Luar Biasa untuk memilih kepemimpinan KNPB. Memasuki Pertengahan tahun 2011, program program politik dengan tuntutan referendum terus digalang di seluruh wilayah West Papua di bawah komando Mako Tabuni. Sementara di luar negeri, Konferensi ILWP digelar oleh Benny Wenda, di mana Juru Bicara Internasional KNPB, Victor F. Yeimo ikut memberikan pidato di London. Setahun kemudian, Buchtar Tabuni dan Jefry Wandikbo ditangkap dan dipenjarakan oleh Polda Papua.

Pada 14 Juli 2012, Mako Tabuni ditembak mati oleh Densus 88, Polda Papua di Lingkaran Perumnas 3 Waena. Sementara itu, Komisariat Militan, di bawa komando Hubertus Mabel dibantu Sebby Sambom melakukan koordinasi di setiap pertahanan militer Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Papua Barat, hingga mendorong Kongres TPN-PB di Biak, di mana Goliat Tabuni didaulat sebagai Panglima Komando Tertinggi TPN-PB. Dalam perjalanan koordinasi militer di Lanny Jaya, Hubertus Mabel yang sementara berada di Kurulu, Kampung halamannya, ditembak mati oleh anggota Polres Jayawijaya. Sementara Sebby Sambon dan lain-lainnya menjadi DPO hingga saat ini.

Kongres Luar Biasa (KLB)

Seperti yang direcanakan sebelumnya, Kongres Luar Biasa berlangsung di Timika, dengan dipanitiai oleh Steven Itlay. Dihadiri oleh pengurus dan anggota Wilayah, KLB memilih Victor F. Yeimo sebagai Ketua Umum KNPB, dan Agus Kossay yang sebelumnya menjabat Ketua KNPB Wilayah Sentani, sebagai Ketua 1 KNPB. Sementara, Ones Suhuniap dan Mecky Yeimo diangkat menjadi Sekretaris Umum dan Sekretaris 1.

Pembenahan pengurus dan program dilakukan di Kali Biru, Sentani. Pergantian posisi di berbagai bidang terjadi akibat beberapa pengurus menjadi DPO, seperti Danny Wenda, Agustinus Trapen, Diaz Serafin. Mono Hisage terpilih menjadi kepala Militan menggantikan Hubertus Mabel yang telah ditembak polisi. Sementara, Yusak Logo alias Bazoka Logo dipilih menjadi Juru Bicara Nasional KNPB. Warius Wetipo dan Ogram Kobabe Wanimbo mengambil alih Komisariat Diplomasi.

Kepengurusan ini melanjutkan hasil Kongres I KNPB. Program politik dan organisasi terus dijalankan. Program penyatuan diplomasi internasional mulai digalang dengan mengaktifkan komunikasi lintas gerakan perlawanan di dalam negeri. Sementara penguaatan internal organisai dan perlawanan politik terus dilanjutkan sekali pun penguasa kolonial Indonesia merepresi, menangkap dan membunuh aktivis KNPB. Pada pertengahan 2013, Victor F. Yeimo ditangkap Polda Papua saat memimpin demo damai. Kerja-kerja harian diambil alih oleh Agus Kossay bersama pengurus yang lainnya.

Sementara itu, aksi-aksi politik terus dilancarkan dari wilayah, seperti di Timika di bawa komando Steven Itlay, di Wamena di bawah komando Simeon Dabi, di Yahukimo di bawa Komando Erinus Pahabol dan Aminus Balingga, di Manokwari di bawah komando Alexander Nekenem, di Sorong di bawa komando Martinus Yohame yang kemudian diculik dan dibunuh oleh pasukan pengamanan kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 20-25 Agustus 2014. Kemudian di Nabire di bawa komando Zadrak Kudiay, di Merauke Gento dan Ibu Pangkrasia Yeem, di Biak oleh Yulianus Mandowen dan Apolos Sroyer. Begitu juga di Kaimana dan Pak-Pak. Buchtar Tabuni, ketua PNWP yang baru keluar dari penjara memimpin aksi-aksi damai dan kemudian menjadi DPO Polda Papua hingga saat ini.

Lahirnya ULMWP

Sesuai dengan mandat Kongres I KNPB, aktivis KNPB mulai berkoordinasi aktif dengan berbagai elemen gerakan perlawanan. KNPB mendorong dibentuknya Tim rekonsiliasi bersama antar organisasi perlawanan yang dikoordinir Sem Awom, Simeon Alua, Mecky Yeimo, Warpo Wetipo, Markus Haluk, Kristian Douw, dll. Mereka mengaktifkan pertemuan lintas organisasi. Berdiskusi hingga ke dalam penjara Abepura di mana saat itu Ketua Umum KNPB, Victor Yeimo, Filep Karma, Forkorus Yaboisembut dan Edison Waromi berada di penjara.

Di Aula milik Narapida, Lembaga Abepura, bersama Tim Rekonsiliasi menyepakati usul Victor F. Yeimo bahwa persatuan harus didorong antara tiga faksi besar, yakni PNWP, NRFPB dan WPNCL, sebab organisasi yang lain sudah berafiliasi secara langsung di dalamnya. Kemudian, pertemuanpertemuan rekonsiliasi dilaksanakan dan diwacanakan di antara tiga faksi besar itu.

Sementara itu, WPNCL yang berjuang menjadi anggota penuh di MSG tahun 2013 di Noumea dianjurkan untuk berunifikasi dengan organisasi lain. Kebutuhan persatuan antara pemimpin di luar negeri dan dalam negeri semakin mengerucut hingga terjadi pertemuan dan persatuan tiga faksi besar di Port Villa, Vanuatu, tanggal 6 Desember 2014 melalui deklarasi Saralana, di mana Buchtar Tabuni ikut menandatanganinya.

KNPB setelah ULMWP

KNPB menyambut penyatuan tiga faksi besar dalam sebuah wadah koordinasi bersama, yakni ULMWP. Sebagaimana isi “deklarasi saralana”, ULMWP mendorong upaya internasional dalam mewujudkan penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua. KNPB memandang keterlibatan PNWP dan Benny Wenda sebagai penguatan perjuangan bangsa dalam mewujudkan hasil Kongres I KNPB.
KNPB tetap memposisikan organisasi dan aktivisnya sebagai media bagi gerakan perlawanan di dalam negeri, West Papua. Sebab, KNPB berpandangan bahwa, basis perlawanan utama ada di dalam negeri, di mana rakyat West Papua harus bersatu dalam gerakan perlawanan guna mendorong proses politik dari perjuangan West Papua. Bersatunya para pemimpin dan diplomat di internasional merupakan kemenangan program kongres I KNPB, sehingga apa pun, di mana pun dan kapan pun, KNPB akan mendorong ULMWP.

Ketua Umum KNPB, Victor F. Yeimo adalah salah satu dari tiga tim kerja ULMWP yakni Sem Awom dan Markus Haluk yang bergerak di dalam negeri membantu mengkoordinasi antara tiga faksi utama selaku Dewan Komite dan 5 anggota Eksekutif ULMWP di Luar Negeri. Sementara, PNWP adalah alat demokratis rakyat West Papua yang harus dikawal dan diperkuat demi melahirkan bangsa (nation state).

KNPB tidak memandang PNWP sebagai sebuah faksi, karena ia hanyalah alat politik yang demokratis di mana setiap faksi dari berbagai akar ideologi dapat memperjuangkan posisi politik dan pandangannya dalam PNWP.

Ideologi KNPB

Sesuai prinsip-prinsip dasar perjuangan KNPB, perjuangan pembebasan nasional West Papua diperjuangkan dengan nilai-nilai sosialis yang melekat dalam kehidupan budaya bangsa Papua, yakni kolektivisme (kebersamaan) dalam berdemokrasi, berjiwa patriotis dan berkarakter militant dalam perjuangan, berasaskan kebenaran dan kemanusiaan sebagai sumber kasih yakni kesetaraan (egaliter).
Ideologi KNPB dibentuk oleh nilai -nilai kepercayaan agama dan budaya bangsa Papua-Melanesia, dengan terus menerima dan membentuk aktivis dan gerakan perlawanan KNPB dengan memperlengkapi sosialis modern yang menjadi senjata perlawanan rakyat tertindas melawan kolonialisme/neo-kolonialisme dan kapitalisme-imperialisme yang telah dan sedang menghancurkan bangsa Papua saat ini.

KNPB mendasarkan massa rakyat West Papua sebagai subjek perjuangan pembebasan nasional West Papua. Sebab rakyatlah pejuang utama dalam revolusi menuju masyarakat sosialis Papua. Masyarakat sosialis adalah sebuah masyarakat di mana bangsanya tidak lagi terbentuk kelas-kelas politik dan ekonomi sebagai sumber penindasan manusia atas manusia lain. KNPB memperjuangkan kehidupan berbangsa yang seperti itu dengan jalan mengusir kolonialisme Indonesia yang sedang menjadi sumber penindasan di West Papua saat ini.

KNPB Saat Ini

7 tahun lamanya KNPB melawan dan tidak mundur sejengkal pun. Intimidasi, terror, penggrebekan, penangkapan,pemenjaraan, hingga pembunuhan sudah dialami KNPB. Kini KNPB telah dewasa dalam melawan. Indonesia telah berhasil mengajar KNPB untuk melawan. Melawan dengan cara damai dan bermartabat adalah ciri khas KNPB.

KNPB tidak pernah menjanjikan kemerdekaan, tetapi KNPB menunjukan jalan menuju kemerdekaan dan cara berjuang menuju kemerdekaan. KNPB sedang mendidik rakyat bahwa Papua Merdeka tidak akan datang dari luar, tetapi oleh rakyat West Papua itu sendiri. KNPB saat ini tidak butuh pujian dan kehormatan. Sebab, KNPB menyadari bahwa akan lebih terhormat menderita dan mati dalam perlawanan melawan kolonialisme dan kapitalisme global, sebab mundur adalah penghianatan. Seperti Lance Armstrong katakan: “Sakit dalam perjuangan itu hanya sementara. Bisa jadi Anda rasakan dalam semenit, sejam, sehari, atau setahun. Namun jika menyerah, rasa sakit itu akan terasa selamanya”.

KNPB saat ini dikendalian oleh orang-oran putus kuliah, sarjanawan, dan anak anak jalanan yang kaya akan nurani dan bermental lawan. Sebab, bagi KNPB, jalan-jalan demonstran dan penjara adalah sekolah perjuangan. KNPB melihat penderitaan dengan mata hati nurani dan mempelajari realitas penderitaan bangsa Papua di arena perlawanan. KNPB tidak menolak Pelajar dan Mahasiswa menimba ilmu, tetapi KNPB mengajak kepintaran anak negeri West Papua tidak digunakan (dieksploitasi) oleh dan untuk kolonialisme Indonesia dan kapitalisme.

Admin: KNPBNe

Minggu, 04 Agustus 2019

MEMBACA DAN MENULIS BUKAN BUDAYA ORANG YALI MELAINKAN MENDENGAR

MEMBACA DAN MENULIS BUKAN BUDAYA ORANG YALI MELAINKAN MENDENGAR
Pendahuluan
Membaca adalah salah satu keterampilan berbahasa. Dan juga kegiatan memahami teks bacaan dengan tujuan untuk memperoleh informasi dari teks atau buku yang kita umumnya baca.
Membaca  juga berfungsi untuk mengetahui lebih banyak tentang bacaan. Misalnya, tentang penulisannya atau permasalahan yang dibacarakan mulai dari awal masalah sampai pemecahan masalah atau akhir berita.
Orang yali secara lisan mereka mampu membaca dan memahami secara konteks mereka orang-orang yali dan mempunyai keterampilan menyampaikan informasi secara lisan dari dalam ingatan mereka yang begitu luar biasanya tidak pernah hilang dari ingatan mereka tanpa melihat dan menyampaikan memakai catatan sedikipun.
Menulis adalah suatu kegiatan menyampaikan suatu ide atau gagasan baik itu tulisan huruf, angka, menngunakan tangan dengan pensil, pulpen, spidol melaui media berupa batu, kertas, buku, ataupun yang paling populer saat ini melaui  media sosial.
Orang yali tidak pernah sama sekali mengenal yang namanya menulis, apalagi menulis dalam bentuk tulisan di pohon, batu, rumah, atau bahkan segala sesuatu yang ada di sekitar mereka orang yali untuk di jadikan sebagai bahan tulisan mereka orang yali itu belum ada sama sekali hanya mereka orang yali menyimpan cerita mereka orang yali secara lisan dari turun temurun luar biasanya otak mereka orang yali bisa menyimpan cerita dari generasi ke generasi andai saja otak Albert einstein perancang teori M=c2 dan Thomas Alva edison penemu bola lampu.

Budaya adalah suatu cara hidup yang terdapat pada sekelompok manusia, yang berkembang dan diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya

Dan budaya adalah juga suatu pola hidup yang tumbuh dan berkembang pada sekelompok manusia yang mengatur agar setiap individu mengerti apa yang harus dilakukan, dan untuk mengatur tingkah laku manusia dalam berinteraksi dengan manusia lainnya.
Orang yali memiliki 7 unsur kebudayaan dan sanagat kaya dengan pengetahuan mereka orang yali, ideologi mereka orang yali, sistem artefak dan kerajinana tangan lainnya, sistem pencaharian mereka orang yali berburu ke hutan, sistem religi mereka orang yali (usa) suci rahasia dan lain sebaginya.
Mendengar adalah mendengar akan sesuatu dengan sungguh-sungguh, memasang telinga baik-baik untuk mendengar atau dapat menanggap suatu bunyi. Misalnya  sedang mendengar warta berita memperhatikan, mengindahkan; menurut nasihat, bujukan, orang tua (Bapak) dan sebagainya.
Orang yali sama seperti manusia di seluruh papua rumpun Melanesia secara khusus pegunungan tengah papua, jadi orang yali mendengar segala sesuatu sungguh-sungguh, memasang telingah baik-baik untuk mendengar atau menanggap suatu bunyi,
Misalnya mereka orang yali sangat menghormat dan menuruti nasihat-nasihat atau ancuran-ancuran orang yang lebih tua mereka yang tidak menurutinya akan mengalami akibatnya sendiri, dari sejak turun temurun dan di wariskannya dari generasi ke generasi

Obock I Silak
Jayapura 04/08/2019: Minggu Pukul 4:24 PM

Jumat, 14 Desember 2018

Jus Ad Belum Dan Jus In Bellow (Hukum dalam Perang dan Hukum Yang Berlaku dalam Perang


HUKUM HUMANITER DAN KAITANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

Di Edit
Oleh :
Obock I Silak


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hukum Humaniter Internasional memiliki sejarah yang singkat namun penuh peristiwa. Untuk menghindari penderitaan akibat perang maka baru pada pertengahan abad ke-19 negara-negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional dalam suatu konvensi yang mereka setujui sendiri (Lembar Fakta HAM, 1998: 172). Sejak saat itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern menyadarkan perlunya banyak perbaiakan dan perluasan hukum humaniter melalui negosiasi–negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.
Perkembangan Hukum Humaniter Internasional yang berhubungan dengan perlindungan bagi korban perang dan hukum perang sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum perlindungan Hak Asasi Manusia setelah Perang Dunia Kedua. Penetapan instrumen internasional yang penting dalam bidang Hak Asasi Manusia seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (1950) dan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966) memberikan sumbangan untuk memperkuat pandangan bahwa semua orang berhak menikmati Hak Asasi Manusia, baik dalam pada masa perang maupun damai.
Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa bangsa. Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisan tulisan mengenai hukum perang.
Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di Seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.

Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil, anak anak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang.

Defini Hukum Humaniter
Perang dalam pengertian umum yang telah diterima yaitu suatu pertandingan antara dua negara atau lebih terutama dengan angkatan bersenjata mereka, tujuan terakhir dari setiap kontestan atau masing-masing kelompok kontestan adalah untuk mengalahkan kontestan-kontestan lain dan membebankan syarat-syarat perdamaiannya.  
Menurut Karl Von Clausewitz perang adalah perjuangan dalam skala  besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukkan lawannya guna memenuhi kehendak. 
Menurut Mochtar Kusumaatmaja hukum humaniter adalah sebagai dari hukum perang yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang; seperti mengenai senjata-senjata yang dilarang. Konvensi Janewa identik atau sinonim dengan hukum atau konvensi-konvensi humaniter sedangkan hukum perang atau konvensi-konvensi Den Haag mengatur tentang cara melakukan peperangan. 
Hukum perang terdiri dari sekumpulan pembatasan oleh hukum internasional dalam mana kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan pada prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsungnya konflik-konflik bersenjata.

Tujuan Hukum Humaniter
Beberapa tujuan hukum humaniter yaitu :
a.       Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu;
b.      Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh berhak diperlakukan sebagai tawanan perang dan harus dilakukan secara manusiawi;
c.       Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini yang penting adalah asas perikemanusiaan.

Jadi tujuan dari hukum humaniter internasional adalah untuk memberikan perlindungan kepada korban perang, menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan mencegah dilakukannya perang secara kejam. Hukum humaniter internasional lebih ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan, yaitu:

1.      Membatasi kekuasaan pihak-pihak yang berpengalaman dalam menggunakan kekerasan militer dan tindakan yang tidak manusiawi
2.      Melindungi kombatan atau non kombatan/penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu
3.      Menjamin hak-hak asasi tertentu dari mereka yang berada ditangan musuh/pihak lawan, sesuai dengan resolusi PBB No. 2444 tahun 1968 tentang Respector Human Rights Arned Conflicts. 




Grotius, yang juga diikuti oleh Prof. Mochtar Kusumaatmaja membagi:
1.      Jus ad belum (hukum tentang perang), yaitu hukum yang mengatur dalam hal bagaimana suatu negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata.
2.      Jus in bellow, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, terbagi lagi menjadi dua yaitu:
a.       Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang, termasuk pembatasan-pembatasannya yang terdapat dalam konvensi Den Haag.
b.      Hukum mengenai perlindungan bagi orang-orang yang menjadi korban perang , baik sipil maupun militer. Ini terdapat dalam konvensi-konvensi Janewa. 

 Asas dan Prinsip Hukum Humaniter
Hukum perang yang kini lazimnya disebut hukum humaniter dibuat untuk mengatur penggunaan perang atau kekuatan bersenjata sedemikian rupa, seandainya perang atau konflik bersenjata tidak mungkin lagi bisa dicegah atau dihindari. Upaya pengaturan itu dimaksudkan agar tidak mengakibatkan penderitaan yang berlebihan dan sebenarnya tidak perlu, baik masyarakat awam ataupun penduduk yang tidak berdosa (dalam arti penduduk sipil), maupun bagi korban perang dan anggota-anggota “combatant”(pelaku pertempuran) yang terluka. Oleh karena itu ada beberapa asas atau prinsip yang terkandung dalam Hukum Humaniter. Asas hukum atau prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan (Sudikno Mertokusumo, 2003: 34). HHI disusun dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut:

a.       Asas kepentingan militer
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
b.      Asas Perikemanusiaan
Menurut asas ini pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
c.       Asas kesatriaan
Berdasarkan asas ini bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.

Prinsip yang berlaku pada hukum humaniter internasional antara lain:

a.       Prinsip keperluan,/kepentingan militer (military necessity)
Yaitu untuk memberikan batasan, landasan atau pedoman bagi pihak angkatan bersenjata yang saling tempur mengenai hal-hal apa yang boleh dilakuakn  dan yang tidak boleh dilakukan, mengenai tindakan apa yang melanggar huku (dalam situasi perang), alat/sarana yang boleh digunakan dan yang tidak boleh digunakan.
b.      Prinsip kemanusiaan (humanitarian)
Yaitu untuk menerapkan perlakuan terhadap manusia sebagaimana kodratnya dan bukan diperlakukan bagaikan binatang(hewan), menyadari rasa kasih sayang sesama manusia(jangan membantai atau menelantarkan lawan yang luka, sakit, tidak berdaya, atau sudah menyerah), menghargai hak-hak hidup bagi manusia, dan tidak melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia. 
c.       Prinsip kesatriaan (chivalry)
Asas ini mengandungarti bahwa didalam suatu peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat  yang ilegal atau bertentangan dengan hukum humaniter serta cara-cara peperangan yang bersifat khianat dilarang.perang diharapkan hanya dilakukan sebatas mengalahkan atau melumpuhkan kekuatan kekuatan lawan dan bukan untuk menghancurkan personel, keluarga, dan harta benda lawan.oleh karena itu seandainya saja tidak diterapkan asas kesatriandalam pembentukan ketentuan-ketentuan hukum humaniter, maka sudah pasti peperangan akan berlangsung dengan sangat brutal dan dan keji.
d.      Prinsip non-diskriminasi (non-discrimination)
Yaitu untuk menghargai persamaan derajat tidak membeda-bedakan,baik para pihak dalam pertempuran maupun korban perang(termasuk lawan perang)

Jenis-jenis Konflik Bersenjata
Secara garis besar, hanya ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang diatur dalam Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu : 1). “sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional” (international armed conflict); serta 2.)  “sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed conflict). Pembagian dua bentuk konflik ini adalah juga menurut Haryomataram.
Selain Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan, para pakar Hukum Humaniter telah mengajukan bentuk konflik bersenjata, antara lain :
1.   Starke, membagi konflik bersenjata menjadi dua, yaitu war proper between States, and armed conflict which are not of the character of war. Mengenai “armed conflict” yang menjadi pihak belum tentu negara, dapat juga bukan negara menjadi pihak dalam konflik tersebut. Ditambahkan pula bahwa “war proper” adalah “declared war”, yaitu perang yang didahului dengan suatu “declaration of war”
2.   Shigeki Miyazaki, pakar ini menjabarkan konflik bersenjata sebagai berikut :Konflik bersenjata antara pihak peserta konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 1 dan Protokol I, Pasal 1, Paragraf 3.
a.       Konflik bersenjata antara pihak peserta (negara) dengan bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto), misalnya penguasa yang memimpin kampanye pembebasan nasional yang telah menerima Konvensi Jenewa dan/atau Protokol. Konvensi Jenewa Pasal 2, Paragraf 4, Protokol Tambahan I, Pasal 1, Paragraf 4, Pasal 96, Paragraf 2.
b.      Konflik bersenjata antar pihak peserta (negara) dan bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto), yang belum menerima baik Konvensi Jenewa maupun Protokol. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Marthen Clause, Protokol II (penguasa : authority).
c.       Konflik bersenjata antara dua bukan pihak peserta (non-contracting parties). Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Kovensi Jenewa Pasal 3 (penguasa), Marthen Clause, Protokol 2 (penguasa).
d.      Konflik bersenjata yang serius yang tidak bersifat internasional (pemberontakan). Konvensi Jenewa, Pasal 3, Protokol 2, Hukum Internasional Publik.
e.       Konflik bersenjata yang lain. Kovenan Internasional HAM, Hukum Publik (Hukum Pidana).

 Hubungan Hukum Humaniter dan HAM
Tidak selamanya saat perang atau konflik terjadi akan memikirkan tentang HAM, namun antara Hukum Humaniter dengan HAM tentu memiliki kaitan dan saling berhubungan. Dalam konvensi-konvensi tentang hak asasi manusia terdapat pula berbagai ketentuan yang penerapannya pada situasi perang. Konvensi Eropa tahun 1950, misalnya dalam Pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang atau bahaya umum lainnya yang mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang dijamin dalam konvensi ini tidak boleh dilanggar. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) hak yang harus tetap dihormati, karena merupakan intisari dari Konvensi ini, yaitu: hak atas kehidupan, hak kebebasan, integritas fisik, status sebagai subyek hukum, kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi dan hak atas keamanan. Ketentuan ini terdapat juga dalam Pasal 4 Kovenan PBB mengenai hak-hak sipil dan politik dan Pasal 27 Konvensi HAM Amerika.
Selain itu, terdapat pula hak-hak yang tak boleh dikurangi (non derogable rights), baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak yang tak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip (perlakuan) non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku surutnya hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan (slavery), perhambaan (servitude), larangan penyimpangan berkaitan dengan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penjatuhan hukum tanpa putusan yang diumumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang lazim, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf (d) yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa.
Konferensi internasional mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh PBB di Teheran pada tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Humaniter Internasional (HHI). Dalam Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata”, meminta agar konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata diterapkan secara lebih sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini mendorong PBB untuk menangani pula Hukum Humaniter Internasional.

KESIMPULAN
Hukum Humaniter Internasional membedakan dua jenis pertikaian bersenjata, yaitu sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat non-internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum humaniter adalah Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri. Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan.




 DAFTAR PUSTAKA


Buku

Hadi, Soetrisno, 1987,Metodologi Research, UGM, Yogyakarta.
Permatasari, Arlina, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta.
Rudy, T. May, 2009, Hukum Internasional 2, PT. Reifika Aditama.
Strike, J.G. Pengantar Hukum Internasional edisi ke 2, Sinar Grafika.


Rabu, 12 Desember 2018

Bangsa Papua (Melanesia) Ada Sejak Nenek Moyang Sebelum Negara Indonesia dan Bangsa (Melayu) Ada di Bangsa Papua (Melanesia)


Bangsa Papua (Melanesia) Ada Sejak Nenek Moyang Sebelum Negara Indonesia dan Bangsa (Melayu) Ada di Bangsa Papua (Melanesia)

Penjajahan Bangsa Melayu Atas Bangsa Melanesia.
Penjajahan
Penjajahan pada hakekatnya merupakan penghisapan oleh suatu bangsa atas bangsa lain Seperti halnya Bangsa Melayu dan Negara Indonesia atas bangsa Papua (Melanesia) yang ditimbulkan oleh perkembangan paham kapitalis (Amerika Serikat AS), dimana pelosok penjajah Imperialisme Amerika Serikat (AS) membutuhkan bahan mentah bagi industrinya Amerika Serikat (AS) dan pun pasar bagi hasil industrinya Amerika Serikat (AS).  Maka Inti dari penjajahan Paham Kapitalis Amerika Serikat di sini. adalah penguasaan wilayah bangsa lain Seperti Imperialisme Amerika Serikat (AS) Yang berpaham Kapitalis Liberal Mengakibatkan Ketergantungan terjadi pada negara Indonesia dan bangsa (Melayu) yang kekurangan modal dan tekhnologi untuk membangun negara Indonesia, terpaksa mengandalkan bantuan negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) yang hasilnya mengakibatkan ketergantungan pada negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, China, Jepang, Prancis Jerman, Australia tersebut. Hubungan keterkantungan ini dikenal sebagai neo-kolonialisme atau (penjajahan dalam bentuk gaya baru). Terhadap Negara Indonesia dan Bangsa Indonesia Yang berwatak Militerisme terhadap Bangsa Papua (Melanesia ini).
Oleh Obock I Silak 
 

Teknik Pembuatan Api Tradisional

Pada 1960-an-1980-an masyarakat perkampungan lembah Yahulikma, Ubahakikma dan Sosomikma tidak memiliki akses korek api, dan masih menggunaka...