PENDAHULUAN
Agama adalah prinsip kepercayaan kepada Tuhan,
dengan aturan-aturan syarat tertentu. Agama Ajaran, sistem yang mengatur tata
keimanan atau kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungannya. Kata agama dalam
bahasa inggris adalah “religion” atau
bahasa latinnya “religio” yang
berarti mengingat dengan kencang, membaca kembali atau membaca berulang-ulang
dan penuh perhatian. Agama berkaitan dengan hubungan antara manusia dan
dunianya serta dengan Allah karena segala keberadaan manusia adalah Allah.
Dengan menyimpulkan pengertian dari
beberapa arti diatas bahwa agama sebagai lembaga yang secara konkrit menjadi
bagian dari struktur masyarakat, bisa memainkan perannya dalam mengontrol dan
kemudian ikut membentuk sebuah struktur masyarakat yang lebih kondusif bagi
perkembangan kultur yang adil bagi setiap individu berdasarkan kekuatan yang
dimilikinya. Dalam konteks pembicaraan tentang kekerasan, akan disusulkan
optimalisasi lembaga agama dalam membongkar kultur kekerasan di Indonesia umu
dan di papua khususnya, yang dimaksud agama sebagai lembaga disini adalah agama
dengan struktur organisasinya beserta individu-individu yang memeluknya. Tentu
dalam hal ini diandaikan pula bahwa perdebatan Teologis sehubungan dengan peran
agama di dunia sudah menemukan
platform ( mimbar, panggung atau pondium) kemanusian.
“PANGGILAN
MENGIKUTI KRISTUS DITENGAH-TENGAH KEKERASAN”
Berikut ini merupakan
interprestasi mengenai gejala kekerasan dan ketidakadilan dalam masyarakat (pada pemerintahan Orde Baru), kemudian
beberapa pertimbangan mengenai panggilan para pengikut Kristus dalam konteks
tersebut.
KEKERASAN
Salah satu penyebab
ketidakadilan yang dialami pada masa pemerintahan Orde Baru adalah kekerasan
yang dijalankan oleh pemerintah melalui alat-alatnya, yakni militer hukum,
informasi, dan ideology, yang tidak jarang juga di dukung oleh budaya dan
agama. System dan struktur yang tidak adil telah merasuki segala bidang tataran
hidup bermasyarakat dan bernegara, sehingga tidak mudah untuk diubah dalam
waktu yang singkat.
Indonesia lahir dari
masyarakat yang majemuk yang melawan penjajah dan kemudian selanjutnya dibentuk
dan disatukan dari atas oleh pemerintah yang otoriter dan represif . Perjuangan menegakkan keadilan
dan perdamaian dalam bidang-bidang politik, ekonomi, budaya, berhadapan dengan system
dan struktur kekuasaan yang kuat, konflik vertical telah menjadi konflik
horizontal, dimana budaya dan agama ikut memainkan peran selama Orde Baru,
tidak jarang agama membiarkan diri menjadi alat pemerintah, demi pelaksanaan
program pemerintah, suatu hal yang sangat mencolok khususnya menjelang pemilu.
Sejarah Indonesia
memperlihatkan bahwa gerakan memperjuangkan kemerdekaan, keadilan, dan
kesejahteraan bersama merupakan kekuatan yang mempersatukan agama-agama.
Sebliknya, tanpa gerakan semacam itu agama-agama cenderung memperjuangkan
kepentingan kelompok sendiri dan menjadi kekuatan yang terpisah-pisah atau
malah berselisih. Sebagai gejala social, sebagai kelompok masyarakat dalam
negara Indonesia, umat beragama tidak terlepas dari politik, ekonomi, dan budaya
yang bersifat ambivalen. Terhadap ambivalen politik,ekonomi, dan budaya
selayaknya umat beragam bersikap kritis berdasarkan sumber-sumber yang
dianutnya. Dengan demikian agama menjadi agama rakyat. Kemungkinan lain
hanyalah dalam kekuasaan dan agama menjadi sarana kekuasaan. Kenyataan
Indonesia seperti ini tidak terlepas dari pengaruh proses globalisasi. Fenomena
globalisasi tidaklah netral melainkan penuh dengan ambiguitas, dengan
kompetisi yang tidak fair dan hubungan-hubungan yang tidak adil.Dominasi ekonomi
dan politik diperkuat dengan agresi
cultural yang dipacu dengan kemajuan-kemajuan teknologi. Salah satu dampak
globalisasi adalah munculnya fundamentalisme,
yang tidak hanya terdapat dalam agama, melainkan juga dalam keluarga nepotisme, dalam ras dan suku primodialisme, dan dalam hubungan gender
patriarki, Globalisasi mempunyai
andil dalam menumbuhkan sikap hidup komunalistik tersebut. Bahaya dari sikap
ini ialah tidak bersedia untuk dialog dan cenderung menggunakan kekerasan.
Akibatnya, kaum marginal dan tak berdaya semakin lemah posisinya.
PERMASALAHAN
KITA
Berbicara tentang kekerasan berarti pula berbicara
tentang aneka ragam model dan bentuk kekerasan. Oleh karena itu, focus kita
kekerasan yang akan dibahas disini adalah kekerasan yang lebih dikenal sebagai
kekerasan Negara (state violence) Indonesia terhadap rakyat Papua. Disini saya tidak akan membicarakan tentang
hal ini secara detail karena memang, pembicaraan tentang hal ini sudah cukup
yang dibahas oleh para Tokoh Papua, Antropolog Papua, Seniman Papua, Cedekiawan
Papua, Akademisi Papua Peneliti Papua, Praktisi Hukum Papua, LSM/NGOs Papua dan
Aktivis Papua, Mahasiswa Papua Pemuda Papua dalam bentuk bermacam –macam baik
itu melalui Buku, Media Cetak, Media Online Jurnal, Seminar-seminar dan dalam
berbagai hal lainnya , sehingga setidaknya pastilah kita sudah beranalisa dan
sudah tahu kesana, apa itu kekerasan Negara (state violence) terhadap orang
Papua.
Hal yang sering dari pembicaran para pakar itu ialah
para eksekutiv dan juga legislative
daerah Papua yang di dukung oleh militer Indonesia yang variable utama
dalam permainan kekerasan negara terhadap rakyat Papua. Padahal sebagai seorang
pemimpin daerah yang bijak hanya dengan mencermati pola-pola kekerasan itulah
kita bisa menemukan salah satu mata rantai yang bisa di tenmbus untuk
memutuskan lingkaran setan kekerasan itu, tidak mudah bagi masyarakat Papua
untuk melawan hal kekerasan itu, bahwa berdasarkan topic diatas maka kalau
agama mau supaya gereja berperan secara optimal, perlulah lebih dahulu
menemukan titik lemah dari pada budak “korban” kemudian barulah menemukan
solusinya.
MEMBONGKAR POLA PENGGELAPAN
Setelah mencermati pola kekerasan diatas , yang
kemudian mendesak diperlukan adalah suatu upaya untuk membongkar penggelapan
fakta ini sebagai bentukan nyata dari usaha memutuskan lingkaran setan
kekerasan. Diharapkan, dengan fakta yang lebih transparan, pola-pola kekerasan
itu bisa dinilai dan ditimbang dalam ukuran rasa keadilan masyarakat sesuai
prsedur hukum yang berlaku di Indonesia maupun Organisasi Internasional Human
Right. Maka lebih lanjut, dalam dukungan masyarakat yang lebih luas kemungkinan
besar para korban dan atau keluarga korba,n ini bisa lebih berani memberikan
kesaksiannya. Namun sangat sulit bagi pihak korban rakyat Papua memberikan
kesaksian ini kepada public Nasional maupun Internasional kalau di pantaupun
oleh pihak atau lemmbaga yang mendukung, sekalipun sudah pernah mencoba namun
hasilnya mereka malah dihukum lagi pelaku criminal dengan memperbalikan fakta
yang sebenarnya.
Berdasarkan Topik artikel dan fakta deskriptif analisa
diatas maka timbulah, pertanyaan bahwa:
Sipakah sebenarnya agama itu dan untuk
apakah agama itu ada?
Peran dan fungsi agama penting dalam menyikapi
konflik HAM (Hak Asasi Manusia) seperti yang di jelaskan diatas sama halnya
juga konflik Papua, dan cara yang untuk bisa menyikapi konflik Papua adalah
dengan jalan dengan jalan atau ketentuan sebagai berikut:
1. Pada
umumnya agama dilihat sebagai kekuatan moral, bukan perwujudan dari kepentingan
ekonomi dan politik praktis dalam arti kekuasaan
2. Kepentingan
agama dalam pilihan ini adalah pilihan keadilan dan kemanusiaan, suatu pilihan
universal yang non-sektarian dan tidak berpihak, kecuali hanya pada para korban
yang tercabik harga diri kemanusiaanya
3. Kekuatan lembaga agama yang kedua adalah struktur
organisasi dan jaringan internal yang relative baik. Maksudnya, agama sebagai
lembaga mempunyai basis massa yang jelasdengan unit-unit pengorganisasian yang
cukup baik.
4. Selain
itu, agama biasanya juga mempunyai jaringan keluar yang juga baik, dan ini bisa
menjadi kekuatan ketiga
Dengan ketiga kekuatan ini saja,
sebenarnya lembaga agama tidak perlu merasa gentar membela keadilan, meskipun
tetap perlu mewaspadai upaya-upaya adu domba seperti yang sering terjadi
selama.
Dengan demikian pastilah akan terlihat sendiri kebenaran
yang sedang diinjak-injak oleh kepentingan kaum kapitalis global itu, maka itu
Gereja perlu menyadari tugas pengutusan dan panggilannya. Jika dengan
melalaikan tugas pengutusan dan panggilan Gereja maka Gereja gagal hidup
sebagai Gereja, yakni sebagai Tubuh Kristus.
Gereja jangan
pernah lagi tutup hati dan mulut jika terjadi pelanggaran ketidak manusiawian
di tengah-tengah kehidupan umat Allah, Melainkan buka hati dan mulut dengan
cara berkata dan bertindak sebab kebenaran boleh dapat di salahkan Namun tidak
dapat dikalahkan
Socrates, Sofyan, Yoman
Orang-
orang Yang pekerja jujur di atas tanah ini akan melihat tanda heran yang satu
ke tanda heran yang lain
Isac, Zamuel, Kijne
Oleh: Obock
Robsil Silak
Penulis adalah Alinlan Nare Ft Kaki
Abu