Rabu, 27 November 2019

Dampak Diskriminasi Rasialisme Surabaya Terhadap Mahasiswa Papua Tahun 2019


Alasan penulisan
Sebuah negara di dunia ini tidak dapat luput dari masalah multikultural, pihak lain merasa superior terhadap pihak lain dianggap inferior apalagi Negara semacam Indonesia yang berbagai macam suku,ras,dan agama ini.
Penulis mempunyai beberapa alasan mengapa penulis tertarik untuk menganalisa tentang Dampak Diskriminasi Rasialisme Surabaya Terhadap Mahasiswa Papua Tahun 2019, karena penulis melihat bahwa upaya menyelesaikan dampak Rasisme kedua suku bangsa yang berbeda ini belum ada niat baik untuk penyelesaian yang serius oleh Negara sehingga penulis ingin mengkaji lebih jauh lagi mengenai dampak Rasisme tersebut khususnya untuk Papua begitupun Surabaya. Selain itu penulis juga ingin mempelajari tentang faktor-faktor apa yang menyebabkan sehingga Surabaya memandang Mahasiswa Papua secara Rasial. .
Ratusan massa dari berbagai ormas (Organisasi Masyarakat) menggeruduk asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur pada 16 Agustus anggota ormas (Organisasi Masyarakat) telah melanggar HAM.
Keesokan harinya, 17 Agustus, polisi mulai memaksa masuk ke asrama sembari membawa senjata pelontar gas air mata. Lalu, sebanyak 43 mahasiswa papua di dalamnya pun sempat ditangkap meski setelah itu  dilepaskan oleh pihak kepolisian.
Insiden itu bermula dari beredarnya foto yang menunjukkan kerusakan tiang bendera merah putih jatuh di selokan depan asrama kamasan mahasiswa Papua.
Sekelompok massa dari ormas (Organisasi Masyarakat) yang  merasa tak terima pun langsung mendatangi asrama kamasan mahasiswa Papua. Dari ratusan massa itu terdapat sejumlah kelompok yang mengenakan atribut ormas (Organisasi Masyarakat) FPI (Front Pembela Islam) dan Pemuda Pancasila. Mereka datang dengan lantang menyanyikan ‘bantai papua’ di depan asrama kamasan mahasiswa Papua.
Menanggapi hal ini Pemprov Papua lewat rilis di sebarkan pada 18 Agustus Gubernur Lukas Enembe meminta seluruh Rakyat Papua dimana pun berada tak ikut panas menyikapi peristiwa yang terjadi di Surabaya. Pemprov Papua prihatin dan empati atas insiden yang terjadi di kota Surabaya, kota semarang, dan kota malang yang berakibat adanya penangkapan dan atau pengosongan Asrama Mahasiswa Papua di kota Surabaya oleh aparat keamanan.

Pemerintah Indonesia sebagai Negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah meratifikasi konvensi anti diskriminasi ras dan etnis serta telah membuat aturan legislasi Nasional terkait anti diskriminasi ras dan etnis sehingga baik secara nasional maupun internasional Pemerintah Indonesia punya kewajiban untuk tidak melakukan atau  bahkan justru memberantas praktik-praktik diskriminasi ras dan etnis.
Terkait dengan hal itu pemerintah Indonesia merespon dalam hal ini kepala staf kepresidenan Moeldoko mengatakan presiden Jokowi telah meminta Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Muhamad Tito Karnavian menindak aparat yang terbukti berbuat rasis.
Menanggapi hal itu respon datang dari kepala staf Kodam V/Brawijaya Brigadir Jenderal Bambang Ismawan mewakili Pangdam V/Brawijaya adanya indikasi keterlibatan personel TNI didalam kejadian di Asrama Kamasan Mahasiswa Papua. Brigadir Jenderal Bambang Ismawan  mengatakan pihaknya masih melakukan penyidikan terhadap personalnya yang terbukti melakukan pelanggaran ujaran rasis bakal diberi hukuman.


Ras merupakan konsep sosial yang timbul dari usaha untuk mengelompokkan orang dalam kelompok-kelompok yang berbeda. Indentitas rasial biasanya berhubungan dengan ciri-ciri fisik luar seperti warna kulit, tekstur rambut, penambilan wajah, dan bentuk mata.
Konsep rasial berlaku di Amerika serikat sebagai gagasan secara sosial yang tidak di ragukan berhubungan dengan warisan historis seperti perbudakan, penganiayaan suku Indian di Amerika, Isu hak sipil, dan yang terbaru peningkatan imigran. Sulit untuk menyatakan akibat dari rasisme, karena efeknya dapat secara sadar ataupun tidak sadar. Apa yang kita ketahui adalah bahwa rasisme membahayakan bagi penerima perilaku yang merusak ini juga kepada pelakunya sendiri. Tindakan rasisme merendahkan si target dengan mengingkari indentitasnya, dan hal ini menghancurkan suatu budaya dengan menciptakan pembagian kelompok secara politik, social, dan ekonomi dalam suatu Negara (Samovar dkk,2010:187-211)

Teori Poligenisme yang menyatakan bahwa keragaman ras manusia berasal dari garis evolusi yang berbeda-beda. Poligenisme masih menempatkan orang kulit hitam di antara manusia dan primate sejenis kera (monyet). Sehingga mereka diposisikan lebih rendah dari orang kulit putih atau orang Asia sekalipun.

Teori Monogenisme menyatakan dan yakin bahwa manusia berasal dari satu sumber yang sama, sejalan dengan narasi Alkitab dan diyakini orang-orang saleh saat itu. Ironisnya kaum pro perbudakan adalah penganut Teori Monogenisme disisi lain berbeda pandangan bertentangan dengan poligenisme dengan kitab suci. Sedangkan pendapat lainnya monogenis sama-sama yakin bahwa gagasan poligenisme selama itu pula bisa menjustifikasi adanya perbudakan monogenisme.

Rasisme Surabaya, Malang dan Semarang terhadap mahasiswa Papua di bidang pendidikan akan memberikan dampak negatif karena akibat dari rasisme warga subaraya terhadap mahasiswa papua mengganggu secara phisikologi mahasiswa yang ingin kembali berkuliah
Jika mahasiswa Papua kembali melanjutkan kuliah sebelum menangkap dan mengadili pelaku rasisme di Surabaya maka mahasiswa papua dapat dengan mudah melanjutkan studi dan juga tidak melanjutkan studi dan Surabaya juga pun sebagaian akan melakukan kesadaran stereotypy atau cara pandang terhadap mahasiswa Papua.


Aparat TNI-POLRI atau Polisi Indonesia gagal mengatasi rasisme terhadap mahasiswa Papua di Jawa Timur kota Surabaya dan Malang, 16-18 Agustus 2019.

Dampaknya merambat ke seluruh Tanah Papua.  Berbagai macam sendi kehidupan orang Papua secara phisikologis terganggu termasuk penulis sendiri. Semua dampak telah menulis dan berpendapat, Namun penulis melihat dari sisi dampak rasisme terhadap ribuan  mahasiswa Papua yang eksodus sampai saat hari ini masih pertahan di Tanah kelahiranya Papua, sambil menunggu menangkap dan mengadila para pelaku diskriminasi rasisme, dan represif. Bahkan mereka telah menuruti respon atas pernyataan melansir dari media nasional kompas.com, Presiden Jokowi memahami bahwa masyarakat Papua menurutnya Provinsi Papua dan Papua Barat tersinggung atas kekerasan terhadap mahasiswa asal Papua di Jawa Timur kota Surabaya dan Malang 16-17 Agustus lalu. “Jokowi meminta masyarakat Papua untu memaafkan pihak-pihak membuat mereka tersinggung terkait kasus Surabaya dan Malang. sudah kita saling memaafkan aja” menanggapi kata saling “memaafkan” ini, Gubernur Papua Lukas Enembe justru sebaliknya berpikir untuk menarik Mahasiswa Papua untuk kembali kuliah di Tanah Papua, pernyataannya “Kalau wilayah NKRI tidak aman akan memulangkan mahasiswa yang menuntut ilmu di seluruh Indonesia” pernyataan itulah yang membuat ribuan mahasiswa eksodus ke Papua. Tapi menurutnya Gubernur, Papua aman jadi tidak usa pulang maksudnya disini aman secara stabilitas daerah melainkan aman  secara phisikologis manusia Papua itu sendiri menurut hemat penulis.

Selain pernyataan Gubernur pernyataan lainnya datang dari Majelis Rakyat Papua (MRP) Minta Mahasiswa Papua pulang dan lanjut studi di Tanah sendiri (Papua). Maklumat tersebut berisi “seruan kepada mahasiswa papua di semua kota studi pada wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menyerukan kepada mahasiswa papua bila tidak ada jaminan keamanan dan kenyamanan dari pemerintah provinsi, pemerintah kab/kota, dan aparatur TNI/Polri di setiap kota studi, maka di seruhkan, para mahasiswa untuk dapat kembali melanjutkan  dan menyelesaikan studinya di Tanah Papua” maklumat di keluarkan dan disahkan Jayapura pada Rabu (21/08/2019).  menyusul berbagai tindakan rasisme,kekerasaan, dan persekusi dari TNI/Polri, Ormas dan kelompok masyarakat yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, Semarang dan Makasar.


Keputusan yang diambil oleh mahasiswa Papua kembali ke Tanah airnya sendiri (eksodus) bukan persoalan akademik semata, tetapi pesoalaan situasi dan kondisi sosial-budaya berdampak dari rasisme kota Surabaya,kekerasaan, dan persekusi dari TNI/Polri, Ormas dan kelompok masyarakat yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, Semarang dan Makasar. yang tidak mendukung mereka bertahan mengeyam ilmu di perantauan. Rasa Kenyamanan dan keamanan tidak menjamin mendukung mereka. Soal kembali lanjut studi, kapan saja bisa. Tetapi, apakah ada jaminan keamanan dan kenyamanan dalam hal hemat penulis keamanan manusia (human security) artinya pihak lain merasa aman di lindungi, selama itu pula pihak lain diabaikan rasa amannya terancam (barry buzan). Akankah keamanan merasa aman tercipta bagi mereka mahasiswa eksodus?
Media- media nasional kita membaca ada bebarapa institusi telah mendukung dan bersatu dengan gerakan masyarakat sosial-budayanya untuk mematakan gerakan, kehidupan mahasiswa eksodus.
Kita sebagai orang Papua, apa yang harus kita lakukan? Biarkan berlarut ataukah tindakan apa yang kita buat?.
Realita melihat respon pemerintah provinsi terhadap mahasiswa eksodus memaksa mahasiswa eksodus kembali, kampus-kampus di papua tidak menerima mahasiswa eksodus sebagai mahasiswa yang nasib masa depan mereka sama dengan mahasiswa yang kuliah di kampus-kampus di papua, sekalipun mendirikan posko umum auditorium uncen kampus yang terkenal di papua ini. Kepolisian mengejar dan memburu mahasiswa eksus bahkan korban berjatuhan tanggal 23 September itu uncen dan ekspo menjadi saksi bisu atas perbuatan ini justru menyingkirakan ribuan mahasiswa dari peran sosial-budanyanya sebagai anak papua dan mereka akan mengalami dunia transisi. Kalau begini akankah orang papua dan mahasiswa yang kuliah di papua ini tinggal diam seribu bahasa?
Nasib mahasiswa eksodus secara akademik korban bahkan apalagi nyawa mereka menjadi taruhkan kepada bangsa dan harga dirinya sebagai orang papua itu sendiri. Realita transisi  ini tidak ada pihak lain selain mahasiswa eksodus menawarkan solusi atau jalan menyelesaikan, biarkan mereka mahasiswa ini eksodus menentukan sikapnya yang jelas untuk masa depannya mereka dan masa depan Papua kita.

Penulis Obock I Silak





Teknik Pembuatan Api Tradisional

Pada 1960-an-1980-an masyarakat perkampungan lembah Yahulikma, Ubahakikma dan Sosomikma tidak memiliki akses korek api, dan masih menggunaka...